Komunitas sastra dan karya sastra merupakan satu rantai kebudayaan yang takdapat dipisahkan. Tidak ada yang lebih penting atau lebih tidak penting. Ketika salah satunya hilang, rantai ini takakan benar utuh, rusak, dan bahkan takberbentuk. Kepaduan karya sastra dan komunitasnya bisa dilihat salah satunya melalui keberadaan komunitas sastra sebagai wadah yang penting bagi para sastrawan dalam penciptaan karya maupun proses menuju penciptaan itu sendiri.
Keberadaan komunitas bukan hanya menjadi penaung proses kreatif sastrawan, melainkan juga wadah mereka dalam olah wacana. Hadirnya penulis di dalam sebuah komunitas membuat kesempatan karyanya terus dibicarakan dalam berbagai sudut pandang dan profesi masing-masing anggota komunitas. Secara tidak langsung, komunitas ini menjadi wadah untuk penulis (baca: anggotanya) selalu berada di sirkuit kekaryaan yang sama dan positif. Daya dukung dari setiap anggota komunitas menjadi stimulus dalam memacu diri dan kelompok untuk terus berkarya.
Parasastrawan—terutama sastrawan muda Bali—hampir sebagian besar kisah kepengarangannya beririsan dan berawal dari keterlibatan mereka dalam aktivitas pada komunitas sastra. Akibatnya, sebagian besar juga karyanya terlahir dari aktivitas yang diadakan dalam komunitas sastra. Dengan demikian, keberadaan komunitas sastra memiliki arti penting sebagai sebuah “wadah” untuk belajar dan memproduksi karya karena di dalam komunitas sastra inilah secara tidak langsung terjadi interaksi dan sinergi proses kreatif.
Komunitas Sastra dan Peran Pentingnya di Masyarakat
Escarpit dalam Triadnyani (2019) menguraikan secara panjang lebar perihal sastra sebagai benda budaya yang dihasilkan sastrawan sebagai bagian dari kegiatan industri modern. Sastra bukan hanya milik sastrawan. Sekali sebuah karya (baca: buku) diluncurkan, ia mencakup sederet kegiatan dan lembaga yang berada di antara pencipta dan penikmatnya, terutama menyangkut produksi, distribusi, dan konsumen. Komunitas sastra menjadi salah satu ajang sirkuit sastra; tempat berputarnya roda kreativitas tersebut.
Keberadaan komunitas sastra di Bali memegang peranan penting dalam memasyarakatkan sastra. Dengan adanya komunitas sastra, sastra taklagi terkesan eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Hadirnya komunitas sastra memberi cara pandang baru dan bentuk lain dalam mengakses sastra. Sastra, selain ditemui di kehidupan-kehidupan kampus dalam diskusi, seminar, jurnal dan penelitian, sastra juga menjadi bagian dari masyarakat di mana sastra itu bisa diakses di jalanan, lapangan, atau bahkan di warung kopi.
Komunitas sastra inilah yang menjadi motor penggerak yang mewacanakan karya sastra dan perkembangannya melalui berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi diskusi sastra, bedah buku, baca puisi, slam puisi, musikalisasi puisi, pentas teater dan lain sebagainya.
Peran komunitas sastra bagi perkembangan sastra kini memang taklagi bisa dipandang sebelah mata, atau hanya dipandang sekadar sebagai sebuah kelompok atau perkumpulan orang yang menyukai sebuah kesamaan akan sesuatu. Komunitas sastra di Bali kian hari bertransformasi dan mencari bentuk-bentuk baru sinergi kerja-kerja kebudayaan. Memang, takpernah terlihat dengan jelas komunitas sastra menyebutkan dan mendaku diri begitu, tetapi hal ini terlihat dari berbagai program dan kegiatan-kegiatan kesastraan yang segar terjadi.
Bentuk Komunitas Sastra di Bali Hari Ini
Ahmad Farid (2017) juga melakukan penelitian tentang komunitas sastra di Purwakarta. Di dalam tulisannya yang berjudul “Komunitas Sastra dan Dunia Baru”, ia mengutip pendapat June Jordan bahwa sebuah kota sebaiknya fokus membangun kekayaannya yang sejati dengan model pembangunan yang endogen (pembangunan dari dalam). Salah satu dari kekayaan sejati itu adalah keberadaan komunitas kreatifnya. June menyebutnya “aset kreatif dan intelektual.” Menurutnya aset kreatif ini merupakan intisari masa depan suatu wilayah yang harus dipelihara. Hal-hal seperti inilah yang dapat kita lihat di kota-kota kreatif, seperti Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar.
Ketika berbicara perihal komunitas kreatif, tentunya komunitas sastra adalah salah satu bagiannya. Setelah dilakukan pengamatan tentang komunitas sastra di Bali hari ini, dapat dilihat adanya tiga bentuk komunitas sastra di Bali. Tiga bentuk komunitas sastra tersebut, yaitu komunitas yang dibentuk oleh sastrawan lama, komunitas sastra kampus/ sekolah/ instansi, dan komunitas sastra tanpa patron.
Di Bali, sastrawan lama [1] yang berkecimpung di dunia sastra tidak berhenti dalam membangun ekosistem sastra. Pascabubarnya Sanggar Minum Kopi (SMK), beberapa sastrawan yang sempat tergabung di dalamnya membentuk komunitas-komunitas sastra baru. Terbentuknya pun tidak serta merta terjadi seketika pascabubarnya Sanggar Minum Kopi. Namun, beberapa tahun setelahnya.
Sebut saja Made Adnyana Ole yang mendirikan Komunitas Mahima di Singaraja bersama dengan Kadek Sonia Piscayanti. Ada juga Nanoq Da Kansas yang turut mendirikan Rompyok Kopi Komunitas Kertas Budaya di Negara. Dua nama di atas ada sastrawan yang sempat dan pernah beririsan maupun berproses dengan Sanggar Minum Kopi.
Keberadaan komunitas sastra di Bali juga perlahan semakin semarak dengan adanya komunitas-komunitas sastra yang lahir dari kampus, sekolah, pun instansi. Lahirnya komunitas sastra di sekolah dan lembaga seakan memberi harapan pada sastra akan masa-masa di depan yang lebih semarak. Adapun komunitas sastra tersebut adalah Komunitas Cakrawala (Universitas Udayana), Cemara Angin (Universitas Pendidikan Ganesha), Komunitas Lentera (SMAN 2 Semarapura) dan Komunitas Genta Malini (SMAN 1 Gianyar). Terlepas dari nama-nama yang disebutkan di atas, ada beberapa sekolah yang juga turut memiliki komunitas sastra di mana kegiatannya lebih banyak dalam pentas teater seperti Komunitas Teater Jineng (Kabupaten Tabanan), Komunitas Teater Bisma (Kabupaten Badung), dan Komunitas Galang Kangin di Karangasem.
Selain dua bentuk komunitas sastra di atas, di Bali hari ini terdapat satu lagi bentuk komunitas sastra, yaitu komunitas sastra tanpa patron. Patron, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti suri atau tauladan. Berpatron adalah masih berdasarkan senior atau tauladan-tauladan yang terdapat dalam komunitasnya. Inilah yang terjadi di Bali hari ini: adanya bentuk komunitas sastra yang tidak lahir dari sastrawan lama, tidak terbentuk karena satu kesatuan almamater atau tingkat Pendidikan, tetapi semacam bentuk liyan yang terlahir dari kesadaran-kedasaran kolektif dalam membentuk komunitas sastra.
Sebut saja Pu.I.See. Ia lahir dari beberapa anak-anak SMA, kuliahan, dan umum yang takada irisannya dengan “orang-orang sastra” di Bali. Mereka membentuk kelompok kecil, membuat puisinya sendiri, dan membacakan puisi yang mereka tulis sendiri. Kelompok ini seakan membuktikan bahwa sesuatu terjadi (baca: berkomunitas) takmesti ada tokoh/ketokohan di dalamnya sehingga takakan ada tokoh pusat/ tokoh yang dianggap paling berperan dalam membentuk atau menjalankan kelompok ini.
Mungkin saja, kelompok tanpa patron semacam ini yang akan berpotensi paling lama bertahan di masa depan ketika membicarakan bentuk komunitas sastra. Hal ini karena ia merupakan bentuk paling liyan dari dua bentuk komunitas sebelumnya. Bisa saja kelompok yang dibentuk oleh sastrawan lama akan hilang ketika “tokoh sastrawan lama” tersebut taklagi bisa melanjutkan komunitas karena suatu dan lain hal semacam umur yang menua dan faktor lainnya. Begitu pun dengan komunitas sastra yang terikat oleh almamater dan jenjang pendidikan yang sama. Ketika menamatkan studi atau sekolah, mungkin saja orang-orang yang tergabung dalam satu komunitas ini takakan lagi melanjutkan usaha-usanya terdahulu, atau jika pun takbegitu, kemungkinan orang dalam komunitas itu akan membentuk kelompoknya yang baru di luar kelompoknya yang terdahulu.
Disparitas dan Konteksnya
Bentuk paling purba atau langkah pertama untuk mengetahui sesuatu mungkin adalah dengan cara melihat definisinya. Kata disparitas merujuk pada definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti perbedaan; jarak. Tentu, meneropong berbagai komunitas sastra di Bali takakan pernah bisa lepas dari segenap perbedaan dan jaraknya (baca; jarak umur, lokasi dan pengalaman). Disparitas ini seakan menjadi hal-hal yang membuat komunitas sastra di Bali sebagai sebuah lingkar-lingkar kecil yang terjadi di sebagian daerah. Perbedaan yang terjadi memang takbisa dipungkiri. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perbedaan itu buruk, tetapi justru sebaliknya.
Perbedaan-perbedaan tersebut lahir dari berbagai hal, seperti bagaimana meregenerasi komunitasnya, program yang dilakukan, serta gerakan-gerakan lain yang pada dasarnya masih kontekstual dengan sastra itu sendiri. Namun, perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan karena bagaimana pun juga perbedaan ini seperti arus-arus sungai yang nantinya akan bermuara pada satu tempat. Jika seumpama segenap perbedaan ini merupakan arus sungai, tujuan perbedaan itu akan bermuara pada satu tempat, yaitu sastra itu sendiri.
Menyoal komunitas sastra di Bali hari ini, ada fenomena baru yang lahir dari gerakan arus bawah. Gerakan ini adalah penyebaran informasi sastra maupun kekaryaan melalui zine. Zine merupakan sebuah media cetak alternatif yang biasanya diterbitkan secara personal atau kelompok kecil dan diproduksi terbatas dengan cara difotokopi. Zine ini mengusung semangat pada publikasinya. Ketika zaman dulu sastrawan dikenal melalui karya-karyanya di media cetak arus utama, hari ini mungkin takmelulu soal itu.
Hal ini karena dulu publikasi satu-satunya adalah media cetak mainstream yang diketahui banyak orang. Dengan munculnya nama sastrawan di media cetak, sudah barang tentu sastrawan itu akan dikenal oleh banyak orang dan secara langsung didaku sebagai sastrawan. Namun, hal itu sudah menjadi cerita lampau. Kini, dengan berkembangnya zaman dan teknologi, siapapun bisa memproduksi informasinya sendiri, dan siapapun bisa membuat medianya sendiri.
Zine inilah yang memberi ruang sebesar-besarnya kepada siapapun, termasuk penulis itu sendiri untuk mengenalkan dirinya, mengenalkan karyanya, serta sebagai wadah karyanya bisa dibicarakan oleh orang lain. Saat media arus utama menampilkan nama-nama sastrawan yang itu-itu saja, zine ini membawa wacana tanding dan kesempatan lebih untuk penulis muda. Kendati zine ini kebanyakan diproduksi oleh perorangan, secara taksadar orang-orang ini membuat semacam “komunitas virtual”. Mungkin pada bagian ini kita perlu bertanya atau bahkan meredefinisi arti komunitas itu sendiri. Apakah komunitas itu mesti memiliki bangunan fisik? Apakah komunitas tersebut mesti memiliki kesepakatan atau aturan-aturan baku di dalam komunitasnya? Apakah mungkin komunitas tersebut terbentuk dari ketaksadaran berkomunitas? Seperti kita yang sebenarnya tidak dalam satu komunitas, atau ikut dalam kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan sama seperti di komunitas, tetapi ketika ada sesuatu (terbitan zine baru dari orang lain) secara naluriah kita akan mendukung, merespons, dan membicarakannya selayaknya kita berkomunitas? Tidakkah ini bentuk dan potensi lain yang kuat yang terjadi di arus bawah dan takbanyak kita sadari keberadaannya?
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, menelisik dan melihat komunitas sastra di Bali serta melihat konteksnya hari ini, sepertinya kita sedang bergerak ke depan. Pergerakan dengan cara-cara berbeda nan beragam yang kita yakini masing-masing. Dengan cara-cara ini pula, dari setiap perbedaan cara yang kita yakini, kita merasakan adanya sebuah kesamaan; kebahagiaan menjalani sastra. Atau bahkan sebaliknya? Beragamnya cara dan laku yang dilakukan akan semakin menjauhkan kita dari kesadaran bahwa sejatinya kita merasakan hal yang sama?
[1] Yang dijadikan pijakan dalam melihat sastrawan lama adalah Sanggar Minum Kopi (1984-1994). Meskipun pra-Sanggar Minum Kopi terdapat beberapa tokoh sastra Indonesia di Bali, hanya saja titik balik terbentuknya beberapa komunitas sastra di sejumlah kabupaten di Bali adalah pasca-Sanggar Minum Kopi.