
Hari ini Matilda berumur tiga puluh tahun. Aku menyadarinya baru pagi ini, ketika melihat beberapa fotonya lalu lalang di lini masa sosial media. Melihat hal tersebut, pikiranku pun mengingat masa-masa awal mengenalnya. Cerita akan Matilda tak mudah hilang atau lebih tepatnya tak mudah tergantikan oleh cerita-cerita buku lain yang aku baca setelahnya. Aku bergegas beranjak dari kursi dan membuka laptop dan menuliskan Matilda pada kolom pencarian di surelku. Sebuah berkas pun muncul dengan judul Matilda. Aku ingat betul beberapa tahun yang lalu, ketika setelah membaca Matilda, aku menulis sedikit ceritanya dan memberi komentar atas cerita yang aku baca. Aku kirimkan pada kawanku yang saat itu tinggal di Belanda dan pada saat itu hampir setiap minggu kita berkirim tulisan tentang buku yang kita baca dan menceritakannya di waktu yang berbeda. Hari ini aku membaca tulisan itu lagi.
Buku ini tentang seorang gadis yang terlahir bagiku tidak wajar sebagaimana anak-anak lain kebanyakan. Dia lahir di keluarga yang sangat berbeda dengannya. Dia suka membaca buku sedangkan keluarganya yang lain tidak. Sejak berumur tiga tabun, dia sudah membaca koran. Ketika dia berusia 4 tahun, dia meminta ayahnya untuk membeli buku karena semua majalah dan koran telah dia baca sejak dia berusia tiga tahun. Ayahnya menolak karena menurutnya televisi lebih baik daripada buku. Ketika seluruh keluarganya menghabiskan waktu di luar rumah; shopping, jalan-jalan dan sebagainya, sedangkan Matilda memilih pergi ke perpustakaan. Di sana dia mulai membaca buku-buku Ernest Hemingway, HG Wells, Charles Dickens, Jane Austen, dan juga Animal Farm oleh George Orwell.
Dari daftar bukunya sih sudah sangat tidak wajar jika anak-anak membaca buku tersebut. Ya, ini pendapat pribadiku saja karena aku ((hanya)) membandingkan Matilda dan diriku sendiri. Jelas saja, sebagai anak desa, umur lima tahun aku sedang senang-senangnya bermain dan tak pernah sedikitpun memikirkan blangsaknya hidup ini atau bagaimana hidupku nanti ketika dewasa. Menjilat ingus, bermain dagang-dagangan bersama teman, hingga mencampur ludah dengan pasir yang sebelumnya kita bentuk menyerupai gunung adalah hal-hal yang masih aku ingat bahkan hingga saat ini. Mungkin, Matilda tak pernah tahu atau tak pernah membayangkan jika hal-hal di atas juga hadir di dunia ini. Ia tak pernah tahu jika jorok dan seru itu sesekali tampak kabur dan sudah barang tentu tidak mudah untuk ditarik garis batas yang jelas mana jorok dan mana permainan seru. Aku dan Matilda tentu adalah dua insan yang berbeda, bukan seekor sapi (*auto nyanyi).
Ketika Matilda di sekolah dasar, dia bertemu dengan seorang guru yang baik hati, Miss Honey. Karena aku membaca Matilda versi bahasa Inggris, seingatku namanya Miss Honey. Aku tak tahu apakah versi terjemahannya masih menggunakan nama Miss Honey, atau diterjemahkan menjadi Nona Madu. Miss Honey merasa bahwa Matilda bukanlah anak normal karena dia bisa membaca dan berhitung dengan baik. Sebaliknya, kepala sekolah tidak setuju dengan Miss Honey karena menurutnya Matilda adalah anak yang nakal. Matilda semakin dekat dengan Miss Honey hingga ia diundang untuk datang ke rumah Miss Honey. Miss Honey memberi tahu Matilda tentang masa lalunya. Dari semua cerita yang diceritakan Miss Honey, Matilda tahu bahwa Miss Honey adalah keponakan kepala sekolah. Sejak Miss Honey masih kecil, dia tinggal bersama bibinya, dia adalah anak yatim piatu. Ketika Miss Honey beranjak dewasa, dia harus membayar semua barang yang telah diberikan bibinya sebelumnya. Bibinya mengambil rumahnya dan dia harus tinggal di rumah yang malang. Ketika Matilda tahu tentang ini, dia menggunakan kekuatan supernya. Keesokan harinya, kepala sekolah datang ke kelasnya. Matilda memindahkan sebatang kapur dengan kekuatan supernya dan menulis di papan tulis bahwa ayah Miss Honey ingin rumahnya kembali. Kepala sekolah melihat ke papan tulis, dia terkejut dan seketika pingsan. Sejak saat itu, Miss Honey kembali tinggal di rumah aslinya. Di akhir cerita, saat keluarga Matilda ingin pindah ke Spanyol, ada hal yang membuat hati kita hangat ketika membacanya. Aku tak menceritakan bagian akhirnya dengan harapan kalian punya kesempatan untuk membaca sendiri dan merasakannya.
Matilda adalah karakter fiksi yang punya kontribusi di hidupku, paling tidak itu hal yang selalu aku ingat. Sebagai anak desa yang sedikit susah untuk mengakses buku-buku bagus sejak kecil, aku senang bisa mengenal Matilda, meskipun tak sejak kecil mengenalnya paling tidak saat ini aku merasa beruntung pernah menjumpai dan mengenalnya. Matilda adalah satu dari beberapa buku Roald Dahl yang sempat aku baca. Matilda itu lucu, cerdas dan tahu mesti berpihak kepada siapa. Bahkan jika aku membaca karya Roald Dahl hari ini, aku pasti masih menyukainya. Ia tak secara langsung mendikte dan mengajari kita cerita-cerita dentam pesan moral tertulia, tapi lebih kepada memberi diri kita sendiri untuk menilai dan mengambil pesan moral itu terserah di bagian mana sesuai keinginan kita.
Aku menekan tombol reply pada surelku, menuliskan pada kawanku yang jauh itu sedikit tulisan yang aku awali dengan, “Hari ini Matilda ulang tahun,” kataku.