Sejak zaman kolonial hingga tulisan ini diketik tahun 2021, citra perempuan Bali dalam sastra Indonesia tak pernah mulia. Mereka kerap ditampilkan menjadi budak, pedagang yang merangsang, ibu rumah tangga tanpa pilihan, korban pemerkosaan, leak hingga manusia jadi-jadian. Citra perempuan Bali yang tak pernah tampil mulia itu bisa dilacak pada karya-karya pengarang laki-laki seperti Panji Tisna, Putu Wijaya, Aryantha Soethama dan yang terbaru sekaligus yang menjadi objek utama kajian artikel ini adalah Leak Tegal Sirah karya I Gusti Putu Bawa Samar Gantang.
Leak Tegal Sirah masuk dalam 10 besar nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Berlatar politik 1965, Leak Tegal Sirah mengeksplorasi kekerasan yang dilakukan terhadap negara beserta unsur-unsur horor yang diambil dari pelbagai jenis leak—semacam hantu dan ilmu hitam di Bali. Ulak-alik beragam kekerasan, persoalan-persoalan yang dihadirkan serta timbul tenggelamnya leak Bali dalam beberapa bab menjadikan novel ini pintu masuk melihat Bali dari sudut pandang yang lain.
Ketika Bali cenderung digambarkan sebagai sebuah pulau yang indah, Leak Tegal Sirah melihatnya dari sudut yang lain. Kecenderungan hal-hal yang dibicarakan dalam novel ini bukanlah sesuatu yang indah;yang kadang membuat hati hangat membacanya, tidak ada gambar-gambar mempesona tentang pulau Bali ala kartu pos di novel ini. Samar Gantang cenderung menampilkan sesuatu yang keras dan kasar—pembunuhan, penindasan, hingga pemerkosaan pada level yang paling brutal. Hal ini termasuk bagaimana ia menggambarkan perempuan dalam ceritanya. Perempuan ditatap sebagai sebuah objek yang direduksi kedalam bentuk dan citra yang tidak mulia.
Konsep tentang tatapan mata menggambarkan sebentuk kekuatan yang diasosiasikan dengan mata dan indera penglihatan. Ketika kita menatap seseorang atau sesuatu, kita tidak semata-mata ‘melihat’. Tatapan mata menyelidik dan menguasai. Ia menembus dan mengobjekkan tubuh. Dalam kacamata psikoanalitik, tatapan mata dikaitkan dengan empat konsep utama: scopofilia, voyeurisme, fetishisme, dan sadisme.
Scopofilia merujuk pada pengalaman kesenangan yang muncul akibat dari tindakan melihat. Voyeurisme menunjukkan rasa senang yang ditimbulkan dengan memandang tubuh orang lain, terutama pada saat tidak berbusana atau hendak melakukan hubungan seksual. Jika pada scopofilia semata-mata untuk mendapatkan kesenangan, tapi tidak dalam voyeurisme dimana melihatnya sebagai sebuah entitas yang bersifat seksual dan erotis. Fetishisme menggambarkan kecenderungan merasakan dengan kuat (bahkan secara obsesif) yang menarik perhatian objek atau atribut-atribut badaniah yang dihubungkan dengan pasangan seks dan bukan tubuh aktualnya. Sedangkan sadisme dimana merujuk pada kecenderungan mendapatkan kesenangan dari pengamatan terhadap kepedihan orang lain. Di sini, objek tatapan mata hanya puas sampai pada tingkatan mana ia tunduk pada kekerasan dan kekejaman (Calvaro, 2004). Merujuk pada teori tersebut, artikel ini mengeksplorasi bagaimana perempuan Bali ditatap dan kelindannya terhadap lahirnya identitas sosial.
Identitas seseorang dihasilkan melalui penampilan (performance) dan permainan peran (role-playing). Pengulangan memainkan babak penting dalam proses ini, karena dengan menampilkan tindakan-tindakan tertentu secara berulang individu memperoleh sebuah identitas koheren yang nyata. ‘Performa gender’, disebutkan Butler bergantung pada ‘praktik pengulangan rezim-rezim seksual yang bersifat mengendalikan’. Sebuah peran gender, oleh karenanya, tidak bersifat alami maupun opsional: pada kenyataannya peran gender terkonstruksi oleh pelbagai wacana kultural dan khususnya oleh bahasa (Calvaro, 2004).
Oleh karenanya, pengulangan-pengulangan peran gender dalam novel atau karya sastra dengan piranti bahasa secara tidak langsung semakin meneguhkan dominasi laki-laki dan memposisikan perempuan di bawah dominasi laki-laki. Kecenderungan perempuan Bali ditatap dalam karya sastra dibagi kedalam tiga bagian, sebagai berikut:
Perempuan Bali dalam Pusaran Politik, Modernisasi dan Tradisional
Kecenderungan perempuan Bali ditampilkan kerap kali bersinggungan dengan isu politik, modernisasi dan tradisional. Dalam Leak Tegal Sirah, perempuan Bali tampil sebagai orang-orang yang dicap GERWANI—berafiliasi dengan politik kiri, satu bentuk dukungan politik yang dipandang sebagai biang kerok kekacauan sekaligus kotor pada rezim Soeharto. Perempuan Bali yang tampil baik dengan cap GERWANI, maupun perempuan yang tidak berpolitik (netral) atau tidak tahu menahu soal politik dicap sebagai orang-orang yang tidak bertuhan yang dengan artian layak diperkosa, dibunuh, serta sesekali digambarkan menikmati seks bahkan hingga ketagihan memintanya lagi dan lagi. Hal tersebut menyebabkan setiap bab dalam novel ini dipenuhi simbah darah, sperma dan air mata. Seperti pada bagian ini:
Telanjang bulat di ranjang. Perempuan tak bertuhan itu pucat pasi ketika saya setubuhi sambil menempelkan pedang yang blepotan darah pada lehernya,” ucap Aji Grodog tengadah. Matanya terpejam. Bibirnya tersenyum lebar, membayangkan nikmat mangsa yang disetubuhinya ketakutan. (Hal.63).
Nang Njin … setubuhi saya …,” suara itu mengalun memanggil-manggil. Suara yang ia kenal, Luh Loling. (Hal. 134)
Mengangguk setuju. Kedelapannya tersenyum. Senyum penuh arti dan tatapan binal, nakal, birahi, sekalipun kedelapannya sudah terbilang nenek-nenek. (Hal.139).
Yang ketagihan menikmati seks ya perempuan. Perempuan hanya kerap ditatap sebagai objek voyeurisme dan sesekali sadisme. Mereka cenderung indah dilihat ketika telanjang bulat atau nikmat disetubuhi apalagi hingga perempuan atau istilah yang Samar Gantang kerap gunakan “mangsa”, hingga ketakutan. Perempuan atau mangsa ini kerap tidak bisa melawan atau menang melawan pemangsanya, jika pun menang yang dilawan adalah rasa takut dalam dirinya sendiri. Dari yang awalnya takut dengan pemangsa, menjadi tidak takut dan bisa jadi berakhir dengan ketagihan naik ranjang. Sebagai berikut:
Bisikan, rabaan, ciuman Mas Asih membuat Siluh Durus perlahan hilang rasa takutnya. Hanyut, larut menikmati malam surga. Keduanya setiap malam berbulan madu. Siluh Durus jadi ketagihan naik Rajang berduaan. (Hal.89).
Dalam cerita Leak Tegal Sirah, ada satu kali perempuan menang dan dipilih sebagai kelian atau kepala desa. Namun hal ini bukan karena kemampuan perempuan bisa memimpin, bukan karena perempuan mempunyai suara dalam politik, tapi karena sudah tidak ada laki-laki. Sehingga, yang boleh memimpin hanyalah laki-laki, perempuan hanya ikut saja. Hal ini kian menjauhkan jarak dominasi antara laki-laki dan perempuan. Kalau toh boleh dan bisa perempuan memimpin, itu pun jika laki-laki sudah tidak ada lagi. Seperti dalam kutipan berikut ini:
Pertama, pemilihan kelian Banjar Tegal Sirah yang baru. Terpilih Siluh Jibrug jadi kelian Banjar Tegal Sirah yang baru. Terpilih Siluh Jibrug jadi kelian baru karena sudah tidak ada siapa-siapa atau laki-laki lagi di banjar itu. Ia menjadi satu-satunya kelian banjar perempuan yang ada di Kota Carik dan yang ada di Bali. (Hal.145).
Perempuan Bali dan Stigma Leak yang Tak Berkesudahan
Hingga saat ini leak masih dipercaya oleh kebanyakan masyarakat Bali. Leak diidentikkan terhadap ilmu hitam sehingga dinilai bersifat buruk. Leak dipercaya dapat membuat seseorang berubah menjadi sesuatu; kera, babi, anjing, manusia jadi-jadian bahkan hingga berubah menjadi motor dan pesawat terbang. Namun, apapun perubahan wujudnya, leak kerap digambar atau sebermula leak adalah seorang perempuan. Seperti yang tampak dalam kutipan di bawah ini:
Tiba-tiba nongol seorang perempuan paruh baya. Perempuan itu membawa sanggah cukcuk atau tempat menaruh banten atau sesaji. Sanggah itu ditancapkan ke tanah. Lama berdiri komat kamit, merapal mantra. Rambutnya yang Panjang terurai ke depan menutupi wajah dan dadanya yang menjuntai. Telanjang dada. (Hal.31)
Dengan cepat kedelapan gadis jelita misterius yang bersalin rupa jadi leak jegeg itu memagur, mengunyah, mencabik-cabik kemaluan dan buah pelir ketiga mangsa mereka. (Hal.144).
Ketiganya mengamati dan tampak kasat mata bahwa yang jadi gegendu itu adalah Men Sidem, Men Semangah, Dadong Dongkang, Men Jangkrik, Biang Balang, Luh Capung.masing-masing berujud anjing dan kera. Siluh Semaluh, Kumpi Lemut, jadi bangkung atau induk babi. Selebihnya leak-leak lain berwujud bola api berbagai ukuran, beragam warna yang semuanya adalah perempuan krama Banjar Tegal Sirah. (Hal.165).
Perbuatan laki-laki, menjadikan perempuan sebagai objek dengan mudah menimbulkan pelecehan. Merujuk pada Baryadi dalam bukunya Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan; kekerasan tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal simbolik—menggunakan bahasa atau kata-kata, dan nonverbal simbolik—menggunakan gambar, film, pertunjukan, dan lain-lain. Pelabelan bahwa wanita dapat ngeleak pada dasarnya adalah pelecehan verbal simbolis. Di sisi lain, representasi bahwa perempuan bisa ngeleak dan menjelma dalam bentuk kera, rangga, celluluk, dll. itu adalah pelecehan non-verbal simbolis. Kedua kekerasan verbal ini dapat terjadi secara bersamaan. Pelecehan verbal dapat berupa kekerasan fisik dan psikis, seperti pengasingan dalam masyarakat terhadap perempuan yang diyakini mampu ngeleak.
Tuduhan ngeleak sejatinya tidak hanya disematkan pada perempuan melainkan juga laki-laki. Pada kisah Batur, tukang leaknya adalah lelaki yang justru dikalahkan oleh Ni Guru, seorang perempuan. Namun, alih-alih menciptakan novel dengan bumbu leak yang dilakukan laki-laki, novel Leak Tegal Sirah menggunakan karakter perempuan dan bahkan semua leak yang muncul adalah perempuan. Hal ini kian memanjangkan bentuk stereotip bahwa membicarakan leak sama dengan membicarakan perempuan yang menjadi penyebabnya.
Tidak mengherankan, pelabelan ini dilegitimasi oleh ideologi patriarki atau phallusentrisme yang masih mengakar kuat dalam masyarakat. Ideologi ini tidak terlihat karena ada di dalam pikiran manusia. Bahkan bisa juga bekerja secara tidak sadar (Takwin, 2003: 96-101). Kuasa tidak hanya direpresentasikan dalam bentuk kemampuan seseorang dalam menentukan tindakan seseorang melalui tekanan fisik, tetapi juga oleh bahasa yang bersifat ideologis dimana bahasa merupakan tempat bersemayamnya ideologi (Baryadi, 2012:20).
Perempuan Bali di Dapur dan di Atas Kasur
Perempuan Bali seolah-olah diharapkan pintar di dapur dan ganas di kasur. Dalam cerita, semacam ada ketakwajaran jika laki-laki yang memasak, pergi ke pasar dan kerja-kerja domestik lainnya. Seperti dalam kutipan berikut ini:
Sepagi itu, anak-anak perempuan menyapu di pekarangan rumah hingga sempadan jalan. Sementara ibu-ibu pergi ke pasar. Para pria jelata nongkrong di warung kopi…(Hal.17)
Dalam tulisannya berjudul Human Fatherhood is a Social Invention, Mead mengemukakan pertama kali perdebatan nature versus nurture (alam versus budaya), yang menggali adanya kecenderungan pendefinisian perempuan secara alamiah dan laki-laki secara budaya. Implikasi dari pemahaman ini adalah bahwa perempuan secara alami memang ditakdirkan untuk mengasuh, memberi makan, melayani, sedangkan laki-laki didefinisikan aktif, pemberi nafkah, dan pencipta. Pendefinisian seperti ini dikonstruksikan oleh masyarakat patrialkal dan dianggap sebagai sesuatu yang alami. Sehingga serangkaian tugas domestik merupakan porsi perempuan, sedangkan porsi laki-laki adalah tugas publik. Konsekuensi dari hal tersebut adalah serangkaian tugas domestik yang telah menanti dan ini merupakan porsi perempuan, sedangkan porsi laki-laki adalah tugas-tugas publik. Ini menurut Mead adalah suatu pendefinisian yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat patrialkal dan dianggap sebagai sesuatu yang alami.
Dalam Leak Tegal Sirah, Perempuan Bali juga ditatap dengan scopofilia merujuk pada pengalaman kesenangan yang muncul akibat dari tindakan melihat serta berhubungan dengan fetish tertentu—menyetubuhi orang sakit.
Luh Loling kondisinya kurang fit tapi terus dipaksa Nang Jin dan tak segan-segan menempelkan pedang pada leher Luh lolling. Dingin malam kelamin ngilu dan kesemutan, membuat Luh Loling hampir pingsan. Tubuhnya lunglai dan dingin. Namun Nang Jin tak peduli rintih kesakitan Luh Loling. Nikmat bagi Nang Jin, sengsara bagi Luh Loling. Gadis cantik hitam manis ini akhirnya diam dan tubuhnya kaku bagai batang pisang. (Hal.36).
Bibirnya terasa panas ketika kucium. Kelaminnya pun panas karena meriang. Tapi aku senang menyetubuhi gadis dalam keadaan sakit. Ada kenikmatan tersendiri,” bisiknya ke telinga Aning (Hal. 137).
Perempuan Bali tidak hanya dipandang rendah dalam skala, dunia nyata atau realitas namun juga dalam niskala, dunia gaib, dan fiksi. Di dunia nyata perempuan tidak bisa mengelak oleh hal-hal yang masih mengikatnya. Begitupun stigma yang dilekatkan pada mereka sehingga ketika membicarakan leak atau hantu, sudah dengan otomatis akan menyebutkan bahwa perempuan saja yang bisa melakukannya. Sehingga tidak ada celah bagi perempuan selain harus menerima keadaan tersebut.
Karya sastra dimana satu kakinya bisa dilihat sebagai sebuah produk budaya—tak pelak melanggengkan stereotip dan kekerasan gender melalui simbol-simbol yang diproduksinya. Kita harus belajar membaca produk-produk budaya tersebut sebagai narasi—cerita-cerita yang sering kali tidak hanya mengekalkan stereotip-stereotip gender yang tidak pada tempatnya melainkan juga, pada saat bersamaan, mengundang kita untuk bertanya, mendedahnya sehingga terjawab dari mana stereotip-stereotip tersebut berasal, kepentingan-kepentingan siapa yang bekerja, bagaimana ia bersembunyi di balik simbol dan seterusnya dan seterusnya.
Arivia, G. (2006). Feminisme. Penerbit Buku Kompas.
Atmadja, N. B. (2015). Deconstructing Gender Stereotypes in Leak. Jurnal Komunitas, 7 (1).
Bayardi, I.P. (2012). Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Universitas Sanata Dharma.
Cavallaro, D. (2004). Teori Kritis dan Teori Budaya. Penerbit Niagara.
Darma Putra, I. N. (2007). Wanita Bali Tempoe Doeloe. Pustaka Larasan.
Gantang, I. G. P. B. S., Herliany, D. R., & Tera, I. (2020). Leak Tegal Sirah. Indonesia Tera.
Mencari “Karya Sastra” yang Menguntungkan Perempuan? (2003). Jurnal Perempuan, 30.
Oey-Gardiner, Mayling (editor). (1996). Perempuan Indonesia: Dulu dan kini (First edition. ed.). Gramedia Pustaka Utama.
Subono, N. I. (2001). Feminis laki-laki. Yayasan Jurnal Perempuan.
Takwin, B. (2003). Akar-Akar Ideologi. Jalasutra.