Projek ini adalah usaha membaca lintasan zine Queer Indonesia yang berdampingan sekaligus bersimpangan dalam rentang 1982 – 2001. Alih-alih dibaca hanya sebagai muara proses reproduksi gagasan, projek ini menjadikan arsip sebagai pijakan untuk menebak dan menapak spektrum lain di luar zine itu sendiri. Zine dan Queer adalah dua hal berbeda yang memiliki sifat dan sikap yang sama; jika Queer dipahami sebagai oposisi normativitas yang memiliki kecenderungan menggoyang normativitas atau sistem yang ada serta berubah-ubah bentuk sepanjang sejarahnya, begitu pula dengan zine yang menolak definisi serta bentuk yang “ajeg” atau dalam bahasa Singadikrama (2021) bahwa ia semacam katalis—reaksi kimia atau semacam senyawa yang mampu mendorong gagasan untuk berkembang lebih jauh.
Di tulisan pertama dari seri tulisan Pembacaan Ulang Arsip Zine Queer Indonesia 1982 ini, saya ingin memulai dengan dua pertanyaan; Apa itu Zine Queer Indonesia? Lalu, bagaimana spektrum zine Queer di Indonesia?
Zine dan Zine Queer/ Secara Singkat
Ketika membicarakan zine, hal yang kerap menjadi pertanyaan di awal adalah apa itu zine? Beberapa pola jawaban atas pertanyaan tersebut biasanya menjelaskan bahwa zine adalah penggalan dari magazines; zine adalah sebentuk media yang dibuat secara mandiri; zine tidak untuk dijual–tapi dibagikan gratis; atau zine adalah media tanding atas media massa. Seiring berjalannya waktu—zine berkembang, dan jawaban-jawaban di atas—sepengetahuan saya masih bisa digunakan untuk menjawab apa itu zine. Singkatnya—zine adalah “majalah non komersial, non professional, sirkulasi kecil yang penciptanya memproduksi, menerbitkan, dan mendistribusikan sendiri” (Duncombe 1997, 6).
Di konteks luar Indonesia, zine berasal dari fanzine sci-fi di Amerika Serikat pada 1930-an dan 1940-an, muncul kembali pada 1980-an dengan budaya tandingan punk, dan menjadi genre utuh pada 1990-an (Duncombe 1997, 6–8; RS Friedman 1997, 9– 13). Di konteks Indonesia, zine selalu dikaitkan dengan skena musik maupun aktivisme—belakangan dengan perkembangan wacana visual. Satu yang pasti, ia tidak pernah berdiri sendiri; selalu melekat dalam suatu gagasan (Singadikrama, 2021). Hingga kini, gerak zine di Indonesia telah banyak berkembang dari segi topik maupun bagaimana zine itu dikemas dan disebarkan.
Zine memiliki ukurannya yang beragam, biasanya berukuran 8,5 inci kali 6,5 inci, meskipun terkadang beberapa zine memiliki ukuran-ukuran khusus seperti A4, A3, bahkan A7—tergantung selera, namun dominan berukuran A5. Zine di masa awal 1980-an dibuat menggunakan mesin ketik, lalu menggunakan teknik potong-tempel untuk penyusunannya. Di Indonesia, sejak tahun 1982 kelompok gay (istilah yang digunakan pada waktu itu) telah memproduksi dan menerbitkan apa yang mereka sebut media alternatif, semi formal, dan bahkan media amatiran. Namun, Boellstorff menyebut terbitan itu sebagai zine merujuk pada pernyataan dari Duncombe—majalah non komersial, non professional, sirkulasi kecil yang penciptanya memproduksi, menerbitkan, dan mendistribusikan sendiri. Hal tersebut dipertegas pula oleh keterangan “Untuk Kalangan Sendiri” yang dituliskan di bagian depan halaman editorial zine terbitan merekanya.
Istilah “gay” adalah istilah paling umum yang pada saat itu digunakan (hal ini meliputi pula g, homo, dan hémong). 1982–2001 adalah periode di mana posisi subjek gay muncul dengan sendirinya sebagai cara hidup yang dapat dibayangkan, jika sebagian besar bersembunyi dari masyarakat Indonesia dan jarang diklaim sebagai identitas. Posisi subjek gay telah muncul pada 1970-an, membentuk jaringan skala nasional yang sadar secara sosial terutama (tetapi tidak hanya) jaringan persahabatan perkotaan, dan kadang-kadang organisasi, pada 1980-an dan 1990-an (Boellstorff, 2005).
Jika kita runut lagi lebih kebelakang, pada tahun 1959 sudah ada homoseksualitas di Indonesia. Dikutip dari buku Gay Archipelago, menurut kesaksian Andre seorang Waria asal Makassar, tahun tersebut sudah banyak laki-laki homo; saya sudah tahu banyak laki-laki homo dari zaman Jepang (Perang Dunia II) dan Belanda, jelasnya. Namun, ia menandai bahwa tahun 1965 pada saat kepemimpinan Soeharto, hal tersebut berubah drastis. Bissu dan warok, terkena keras dampak kerusuhan ini. Juga berhubungan dengan peristiwa 1965 bahwa homoseksualitas perempuan (lesbi) masuk dalam wacana publik dengan cara yang mengerikan karena dihubung-hubungkan terhadap perempuan Indonesia yang terlibat dalam organisasi Gerwani. Hal ini lantaran anggota Gerwani dituduh berhubungan seks satu sama lain dan hal ini pula yang telah memainkan peran kampanye pemerintah untuk membenarkan pendiskreditan dan bahkan pembunuhan terhadap para perempuan tersebut (S. Wieringa 1999b, 2002 dalam Boellstorff).
Homoseksualitas laki-laki tidak menjadi target, namun pergolakan itu menjadikan laki-laki yang terlibat dalam kegiatan homoseksual sangat membatasi keberadaannya secara publik pada saat itu. Setelah beberapa tahun, sebuah kehidupan taman yang baru mulai muncul. 1970-an sampai saat ini, orang-orang Barat yang hadir di taman-taman atau tempat-tempat publik lain dalam pergaulan orang gay sudah berkurang: kebanyakan orang Barat saat ini pergi ke tempat-tempat wisata atau bersosialisasi dengan sesama orang Barat. Lebih lanjut, sekitar tahun 1980, orang-orang mulai berani mengidentifikasikan diri sebagai waria dalam kehidupan sehari-hari dan berani tampil di publik (dibandingkan dulu, di mana waria dandan hanya dalam konteks yang terbatas, misalnya pertunjukkan sandiwara), dan laki-laki dengan nafsu homoseksual mulai menggunakan istilah gay. Masih dikutip dari Gay Archipelago, edisi pertama dari All Lavender International Gay Guide pada tahun 1971 mencatat satu tempat gay untuk “Jakarta, Indonesia”—“Cosy Corner” di Jl. Nusantara 9. Walaupun demikian, sementara istilah gay dan lesbi jelas sudah ada pada awal tahun 1970-an, setidaknya di ibukota, namun istilah tersebut belum tersebar luas sebelum tahun 1980-an, dan tidak ada bukti tentang jaringan homoseksual se-Indonesia atau hubungan dengan gerakan homoseksual di luar Indonesia sebelum tahun 1980-an.
Pada tahun 1982 zine dijual dengan harga yang hampir sama dengan majalah biasa, 400 rupiah atau lebih sering diberikan secara gratis. Dalam zine Jaka untuk mendapatkan lembar keterangan (prospektus) mesti mengirimkannya dengan perangko Rp, 275,- pada waktu itu, seperti apa yang ditulis di bagian depan halaman editorialnya. Dalam konteks zine queer di Indonesia, kebanyakan orang Indonesia yang memproduksi dan membaca zine gay sudah melihat diri mereka sebagai gay, karena perjumpaan dengan istilah di media massa biasa (Boellstorff, 2005). Zine queer menghubungkan narasi pribadi, cinta, dan kesadaran nasional dengan cara yang konsisten dengan kiasan sastra Indonesia. Hal tersebut memang sengaja dibentuk—dengan menambahkan puisi maupun prosa dalam setiap edisinya.
Publikasi skala kecil, zine gay (atau setelah ini saya sebut zine queer) menantang definisi media “massa”, memberikan wawasan unik tentang hubungan antara teknologi cetak, subjektivitas seksual, dan kepemilikan narasi. Dalam zine queer (khususnya semua seri Jaka dan Jaka-Jaka) pembuat zine termasuk pembacanya tidak menempatkan zine sebagai sebuah kontra narasi/ media tanding/ jenis perlawanan tertentu seperti bagaimana “normalnya” kita ketahui zine itu. Alih-alih menjadikan zine sebagai alat untuk melawan sesuatu, queer di Indonesia menjadikan zine sebagai apa yang mereka sebut agen cinta—perantara antara individu, atau kelompok dari satu pulau ke pulau yang lain.
Melampaui Kenikmatan
Ada hal-hal di luar kenikmatan (merujuk pada segala bentuk aktivitas seksual) yang dilakukan oleh penulis dan pembaca zine queer di Indonesia. Dalam zine mereka, sangat jarang ditemui gambar atau hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas yang eksplisit atau terang-terangan. Hal tersebut bukan perkara sensor (karena zine cenderung tidak memiliki legal hukum yang ajeg), bukan pula ketakutan penyitaan, namun lebih pada penerimaan masyarakat. Hal tersebut sempat disinggung dalam sebuah bab di buku Media, Erotics, and Transnational Asia, melalui zine, mereka ingin terlihat sopan bisa diterima oleh masyarakat. Hal tersebut tidak diungkapkan hanya oleh pembuat zine melainkan juga pembaca dimana mereka mengirimkan surat pada redaksi agar gambar-gambar yang secara terang-terangan menggambarkan adegan seksual agar bisa dikurangi.
Cintalah yang membuat diri sesekali betah tuk bertahan.
Saya pikir penggalan puisi Melodia karya Umbu Landu Paranggi itu mewakili bagaimana Queer di Indonesia memperlakukan zine dan kerabatnya. Cinta—bukan seksual! Bagi Queer di Indonesia baik sebagai penulis maupun pembaca, cinta yang membuat mereka bertahan, hidup hingga saat ini. Hubungan yang hanya mengedepankan hubungan seksual terkesan sebagai hubungan yang mereka anggap semu, tidak murni, temporer serta tidak tulus. Sesuatu yang sifatnya hanya sementara sering dihindari. Tujuan dari zine dan organisasi adalah untuk menciptakan persatuan di antara laki-laki gay dan membuat mereka melakukan hal-hal positif yang berdampak bagi masyarakat. Ketika sebagian orang yang memandang Queer secara negatif, pendosa–dianggap mementingkan hasrat seksual dan cenderung membawa penyakit bagi lingkungan–queer justru malah menghindari topik-topik yang berhubungan dengan seksualitas yang terang-terangan. Mereka berusaha dan bergerak untuk mendapatkan apa yang mereka sebut sebagai “berprestasi”, melakukan hal-hal positif, yang mungkin bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia jarang ketahui.
“Kita semua tahu dan mungkin sudah merasakan sikap dan perilaku kebanyakan orang hetero terhadap orang gay. . . . Benarkah kita menjadi warga ‘kelas kambing’ yang hanya berhubungan seks? Tentu saja tidak! Ada banyak orang gay yang telah mencapai puncak status. . . . Orang gay memiliki kualitas dan kemampuan yang setara dengan orang lain. . . . Untuk memiliki makna dan rasa hormat, seseorang harus memiliki tingkat harga diri dan harga diri yang tinggi. Untuk itu seseorang harus memiliki prestasi” (Jaka Jaka 1993, 4:11).
Zine Queer di Indonesia menekankan cinta, bukan seks. Dalam konteks semua edisi zine Jaka, kata seks, persetubuhan, dan hal lain yang berkaitan dengan seksual tidak sebanyak kata cinta yang terdapat di sepanjang halaman dan setiap edisinya. Bagi Queer Indonesia, cinta adalah apa yang memberi mereka kekuatan untuk hidup selama ini—dan hidup berdampingan, bersatu dengan orang yang memiliki paham yang sama “Itu tidak ada harganya. . . oh, betapa indahnya itu!” (Jaka 1986, 6:14).
“Kamu masih satu-satunya putra kami dan kamu membuat kami bangga. Apapun pilihan yang Anda buat dalam hidup Anda, yang penting Anda menjadi orang yang menjaga dirinya sendiri dan berguna bagi masyarakat” (Jaka 1988, 18:15).
Kutipan-kutipan di atas tidak hanya bisa dijumpai dalam kata pengantar zinenya, melainkan juga terselip di dalam cerita pendek maupun cergam berseri di dalamnya. Hal ini bisa disimpulkan bahwa dari pembuat/ penulis zine, menanamkan dan meniatkan tujuan untuk melampaui ekspresi yang hanya bermuara pada seksual, sehingga ide yang dipercaya baik, mengalir dan berguna bagi masyarakat banyak.
Nasionalisme/ Kesadaran Untuk Bersatu
Orang-orang Indonesia seringkali mengidentifikasikan dengan istilah ‘etnolokal’: orang Aceh, orang Jawa, orang Madura, orang Bali, dll. Dalam beberapa kasus, proses pengidentifikasian ini menguat di bawah rezim pemerintah lokal setelah Suharto jatuh tahun 1998. Meskipun penguatan ‘etnolokal’ terjadi dalam berbagai kasus, tidak ada indikasi bahwa orang-orang Indonesia menggunakannya dalam konteks gay dan lesbian. Tidak ada lesbian Jawa, atau gay Bali, dll—tidak ada jaringan spesifik gay dan lesbi yang membuat berita berbahasa lokal dan semacamnya—gay dan lesbi Indonesia memandang diri mereka sebagai subjek nasional yang tidak terbatas oleh kepulauan (Boellstorff, 2005).
Kesadaran pandangan di atas diperkuat dengan hadirnya zine sebagai media yang merekatkan hubungan mereka yang terpisah oleh pulau-pulau. Benedict Anderson berpendapat bahwa media cetak memainkan peran kunci dalam menciptakan komunitas imajiner bangsa di antara individu-individu yang tidak akan pernah bertemu tatap muka dan yang identitas dan minatnya sangat bervariasi. Apa yang disampaikan oleh Benedict Anderson perihal komunitas imajiner tersebut memiliki keterhubungan yang sama dengan bagaimana zine pada saat itu bekerja. Ada semacam imajinasi kesamaan yang dihasilkan setelah media cetak itu menyebar—persamaan jalan atas pilihan-pilihan yang telah diambil. Kesamaan perasaan ini pula yang membangkitkan adanya kesadaran merawat media mereka sendiri sehingga bisa menjadi ruang dan wadah bagi pemikiran apa saja sekaligus kontribusi baik yang diterima oleh masyarakat.
“… untuk “membangun” kaum gay yang penuh dengan keterampilan dan harga diri, sehingga mereka dapat memberikan yang terbaik untuk “rakyat” dan “bangsa” (Jaka Jaka 1993, 5:15).
“Padahal, jika kita saling menghormati kita bisa bahu membahu membangun bangsa dan bangsa tercinta ini. . . . Sebagai minoritas yang ‘dijatuhkan’, kita harus menunjukkan bahwa patriotisme dan nasionalisme kita tidak bisa dibandingkan!” (Jaka 1988, 17:2).
Jaka memiliki sebuah rubrik yang disebut “Masalah Anda” di mana, di rubrik tersebut dijadikan apa yang mungkin saya lebih suka sebut “tempat mengadu”. Di rubrik itulah masalah-masalah (dominan perihal hubungan asmara) dituliskan. Redaktur akan membalas dengan memberi solusi atau pendapatnya di zine terbitan berikutnya. Siapapun bisa mengirimkan masalahnya sehingga bisa ditanggapi oleh tim editorial zine Jaka. Tidak hanya hal tersebut, siapapun bisa mengenalkan diri untuk mencari kawan terdekat di kotanya. Khusus untuk ruang berkenalan ini, tidak hanya dilakukan orang Indonesia. Orang di luar Indonesia pun mengirimkan surat untuk redaksi agar dimasukan ke dalam zine edisi berikut. Perihal Citra Bule dalam Zine Queer Indonesia akan saya bahas di seri tulisan ketiga.
Orang-orang yang mengisi setiap rubrik zine Jaka ataupun Jaka-Jaka memiliki minat yang bervariasi. Hal itu bisa dilihat dari apa yang mereka tulis. Ada yang menulis puisi, resep makanan, membuat teka-teki, membuat kuis dan lain sebagainya. Dalam satu edisi ada beragam hal yang bisa dinikmati dan menjadi hiburan pembaca. Jika dilihat, zine itu tidak hanya berdiri sebagai bahan bacaan melainkan pula menjadi satu-satunya informasi perihal queer yang pada saat itu bisa diakses secara murah bahkan gratis. Seperti apa yang disampaikan seseorang yang menggunakan nama Sumarno asal Magelang di Jaka edisi ketiga tahun 1985.
“Bagi saya yang kekurangan informasi dan cerita2 tentang kehidupan gay, munculnya Jaka sangat berharga sekali”
Berangkat dari dua pertanyaan di awal tulisan ini, bahwa zine adalah sebuah media non komersial yang diproduksi dan didistribusikan secara mandiri. Oleh Queer di Indonesia, zine tak hanya menjadi wadah edukasi—knowledge production, melainkan pula sebagai apa yang mereka sebut agen cinta—perantara antara individu, atau kelompok dari satu pulau ke pulau yang lain—menghubungkan narasi pribadi, cinta, dan kesadaran nasional dengan cara yang konsisten dengan kiasan sastra Indonesia.
Rujukan Tulisan:
Anderson, B. (2016). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Revised ed.). Verso.
Boellstorff, T. (2005). The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton University Press.
Duncombe, S. (2017). Notes from Underground: Zines and the Politics of Alternative Culture (3rd ed.). Microcosm Publishing.
Mankekar, P., & Schein, L. (2013). Media, Erotics, and Transnational Asia. Duke University Press Books.
Singadikrama, D. (2021). Dari Ruang Keseharian: Penerbitan Zine dan Pengarsipan. Warning Book.