
Jika serupa pilihan ganda; mana dari pilihan berikut yang pernah kalian temui ketika menonton film dengan karakter waria?
- Waria dihajar preman
- Waria dikejar Satpol PP
- Waria lari dengan menjinjing high heels
- Semua jawaban benar
Pengalaman saya menonton film-film dengan karakter waria sebelumnya ada dua; kalau waria tidak tersakiti, dapat dipastikan karakternya galak, seolah waria hanya memiliki karakter ‘bipolar’, hitam-putih macam begitu. Yang membuat saya ingin menuliskan film Lenong Rumpi 1 lebih panjang di blog ini karena tak ada satupun dari pilihan ganda tersebut yang saya jumpai ketika film ini menampilkan karakter waria.
Lenong Rumpi adalah film drama komedi Indonesia yang diproduksi pada tahun 1991 dan disutradarai oleh Yazman Yazid. Lenong Rumpi bercerita tentang kehidupan penghuni kosan di Jalan Masjid dengan tingkah polah lucu nan unik masing-masing karakternya. Ada tujuh orang yang mendiami kos itu; pemilik kos, Koh Liong A Su & Mida; Koh Liong A Su adalah laki-laki keturunan China dengan kumis menyerupai gagang telpon. Koh Liong A Su ini mengganti akta namanya menjadi Steve Marulloh (dengan dua L). Alasannya adalah karena sering dipanggil “Heli..Heli” [1] oleh anak-anak di sekitaran rumahnya, meskipun sejati ia mengganti nama agar berhasil menikahi Mida. Koh Liong A Su atau kemudian disebut Bang Marulloh, hidup dengan seorang perempuan bernama Mida. Mida adalah seorang perempuan Betawi asli alias murni tanpa campuran. Dia adalah perempuan yang paling pro terhadap kebudayaan Betawi, seolah apapun barangnya yang dipinjam dengan alasan untuk mendukung kerja-kerja kebudayaan Betawi akan diijinkannya, kursi rumah dan lain sebagainya jika dipinjam untuk mendukung kebudayaan Betawi—niscaya boleh dipinjam.
Bang Marulloh dan Mida memiliki usaha kos-kosan. Di koran, kos-kosannyalah yang paling murah. Hal ini membuat tiga mahasiswa yang akan mengikuti tes di UI memilih kosannya. Tiga mahasiswa ini berasal dari tiga daerah berbeda; Bandung, Manado, dan Ambon. Tiga mahasiswa ini kemudian mendatangi kosan Bang Marulloh. Di sana, mereka bertemu dengan Tariganov, seorang laki-laki Batak mix Rusia yang senang menyanyikan lagu Sinanggar Tulo karya Titin Ginting, dia juga adalah seorang technofreak, seolah-olah tangannya akan gantal jika tidak melakukan apapun yang berhubugan dengan teknologi. Pekerjaan sebenarnya adalah seorang teknisi TV, namun karena sedang sepi, dia pun mengambil proyek pemasangan ilustrasi telpon. Di kos itu, dia bisa memperbaiki apa saja, mulai dari hairdryer bahkan hingga bisa memutus dan menyambungkan saluran telpon yang dibuatnya. Selain Tariganov, adalah Juwita Maya Sari Batik yang juga tinggal di kos itu. Juwita Maya Sari Batik atau yang sering dipanggil Juwita adalah seorang banci kaleng dengan kulit gelap dan rambut kriting.
Juwita tak hanya menjadi karakter ‘waria’ yang hanya sekali-dua kali tampak dalam film, namun juga memiliki peran dan suara yang sama, sehingga posisinya juga menggerakkan cerita. Lenong Rumpi menampilkan Juwita sebagai representasi Queer. Oleh karena itu, menonton Lenong Rumpi adalah juga upaya membaca bagaimana representasi Queer diperlihatkan dan diperlakukan. Ada tiga unsur yang condong bisa saya lihat sekilas ketika menontonnya:
Banci Kaleng
Istilah banci kaleng akan beberapa kali kita dengar dalam film. Istilah ini paling banyak kita dengar keluar dari mulut Tariganov, semisal adegan ketika dia menunjukkan foto Bang Marulloh yang mengintip Juwita saat mandi malam hari,
“Kalau perempuan lu intip ya wajar. Banci lu intip.”
“Iya nih, susah banget ngilangin hobi yang satu ini.”
Kaleng atau Kalengan dimaknai dalam konteks nyebong atau di pangkalan. Benci kaleng adalah sebuah istilah yang muncul akibat relasi antara ‘waria amatir’ dan waria senior dalam dunia cebongan. Istilah itu biasanya digunakan oleh waria senior untuk menunjuk waria amatir yang belum lama mereka kenal (Yangni, 2020). Banci yang masih kalengan dianggap sebagai banci dalam masa peralihan, masa ‘inisiasi’, banci yang belum ‘jadi, banci yang masih merintis identitasnya. Untuk menjadi ‘tidak kalengan’ dibutuhkan dua hal penting; bisa menemukan gaya yang dirasa cocok untuk nyebong, dan sosialisasi untuk mengenal kebiasaan pangkalan.
Dalam konteks film Lenong Rumpi, Juwita tidak digambarkan sebagai seorang pekerja seks, dalam artian tidak ada aktivitas nyebong/mangkal yang dapat kita jumpai. Alih-alih waria yang selalu dikaitkan dengan pekerja seks, dalam Lenong Rumpi; kita tak pernah menebak apa sebenarnya pekerjaan aslinya Juwita. Meskipun dalam satu kesempatan dia sempat menegaskan pada Boni (mahasiswa asal Bandung) dia harus pergi bekerja mengurus besi beton di Kebudayaan Perancis, memang—kalian tidak salah membacanya, mengurus besi di Kebudayaan Perancis! Namun hal ini menjadi semakin tak jelas ketika Juwita berlari ke kosan untuk mengambil passportnya yang ketinggalan sesaat setelah dia mengucapkan good bye pada Boni.
Istilah banci kaleng ini dilekatkan pada Juwita bukan karena dia tidak mangkal dan menjadi ‘banci amatir’ atau banci pemula atau banci yang baru merintis di pangkalan. Hal ini dimungkinkan karena Juwita tidak banyak berinteraksi dengan banci lain di pangkalan dan tidak menggunakan banyak bahasa binan selayaknya yang digunakan waria di pangkalan.
Bahasa Binan
Meskipun tak banyak kita bisa jumpai bahasa binan dalam film ini lantaran memang Juwita lebih sering berbahasa Indonesia dengan pemilik kos dan kawan-kawan lainnya, namun bukan berarti bahasa binan tidak ada di dalam film Lenong Rumpi.
Bahasa Binan adalah ragam bahasa Indonesia yang dipertuturkan oleh komunitas gay dan waria di Indonesia. Bahasa ini memiliki beberapa pola pembentukan kata yang teratur dan terdokumentasikan dalam tulisan dan ujaran. Bahasa binan yang punya kesan umum agresif, brutal, intimidatif (yang dikaitkan langsung dengan karakter waria), meminjam bahasa Yangni sesungguhnya muncul bak musik; bukan lagi kosakata harafiah kata perkata, namun dipahami melalui gerak tubuh, gestur dan karakter suara (tinggi rendah, jeda perkata, pelafalan panjang-pendek) ketika menyampaikan pesan. Meskipun tidak banyak terlihat dalam film Lenong Rumpi, karakter ‘banci kaleng’ yang dilekatkan erat dengan karakter Juwita memiliki karakter suara yang khas ketika misalnya memanggil Targanov. Ketika orang di luar memanggilnya Targanov (tanpa pelafalan yang panjang atau pendek), Juwita melakukan pemenggalan menjadi Targan—Ov. Karakter ini kuat dilekatkan kepadanya untuk memperlihatkan bahwa Juwita memiliki posisi dan bahasa di luar dari cara orang lain menggunakan bahasa. Ini menjadi tanda bahwa waria melakukan penegasan posisinya melalui bahasa—baik bagaimana ditampilkan atau dikomunikasikan.
Kita bisa melihat bahwa waria menikmati permainan menggeser, menggabung, mengulang dan memplesetkan sebuah kata. Ada kenikmatan yang muncul dari rasa terpinggirkan dan kemudian disublimasikan melalui permainan kata. Pergeseran bahasa ini bisa kita lihat diuraikan menjadi dua bentuk, yaitu metafora dan metonimi. Metafora adalah gejala yang dapat dilihat dalam penggantian sebuah kata dengan kata lain untuk mengungkap makna yang sama (Yangni, 2020). Secara umum metafora melibatkan pemilihan kata. Metafora muncul dalam berbagai bentuk khas, yaitu: (1) similarity (persamaan), (2) koligasional, (3) substitusi. Namun di dalam film Lenong Rumpi, bentuk metafora yang ditampilkan Juwita dominan adalah similarity. Hal ini dapat dilihat dalam adegan ketika Juwita pulang malam, berlari sedu-sedan, memeras air matanya dengan sapu tangan dan mengatakan,
“Ini bukan masalah kebesaran tuhan, ini masalah pacar saya direbut sama orang, padahal dia oke lo bisa enam sembilan, dua satu, pokoknya enak pokoknya oke […] Kok pada kabur sih padahal ini kan juga bagian dari pendidikan seks.”
Atau pada,
“Lumayan tiga gelondongan”, “Tadi aku beri.”
Enam sembilan adalah sebuah gaya dalam melalukan hubungan seks, dengan desain saling melakukan oral seks satu sama lain. Sedangkan ‘beri’ dan ‘gelondongan’ untuk kata berak dan kotoran tai saat adegan Juwita keluar dari toilet. Metafora dan metonimi bisa dibilang merupakan strategi untuk menghadapi sensor yang berlaku dalam realitas sosial-simbolik. Hal tersebut, dinilai cukup halus untuk melahirkan bahasa baru yang lebih bisa menarasikan kewariaan seorang waria.
Posisi
Waria menciptakan dirinya secara berbeda dari apa yang sudah ditempelkan oleh masyarakat. Waria telah melakukan pemisahan diri dari sistem yang diciptakan oleh masyarakat atas kategori waria. Melalui gaya bicara, gerak gerik, model busana, kata-kata dan sebagainya mereka memecah keberaturan itu menjadi keberaturan baru ala waria (Yangni, 2020).
Posisi waria yang diwakili oleh Juwita dalam Lenong Rumpi tampak berada dalam posisi yang selayaknya manusia; bisa sedih, bisa senang, bisa salah, bisa jahil, bisa marah dan sebagainya, tidak dibuat-buat seolah menonjol hanya lantaran menjadi waria—apalagi menjadi bahan olok-olokan. Meskipun dia sempat sakit hati hingga memeras air mata, toh pada akhirnya dia bisa mendapat cinta yang telah dia nanti.
Meskipun banyak film juga menampilkan representasi waria, namun bagaimana mereka diposisikan kerap hanya menjadi objek lelucon. Ketika pemahaman ini terus menerus diproduksi, mengakibatkan adanya persepsi yang membiasakan waria hanya untuk ditertawakan. Adalah hal yang tak wajar, tak biasa, dan aneh, jika waria tak ditertawakan di televisi. Hal ini memiliki implikasi kepada waria di dalam kenyataan (di luar televisi/hiburan) yang memang memilih hidup sebagai waria. Seolah, ketika ‘waria’ menjalani hari di luar dunia hiburan atau televisi, atau memilih gender lain di luar heteronormativas, masyarakat kerap tidak bisa menerimanya. Meminjam istilah John Phillips dalam Transgender on Screen, dia menyebutkan bahwa penampilan waria di layar kaca lebih dapat diterima karena adanya persepsi publik yang menyatakan bahwa itu semua hanyalah sebatas akting semata dan bukan merupakan identitas yang sebenarnya sebagai seorang transgender. Sehingga, apa yang terjadi di dalam kenyataan, tak dapat diterima karena tampak berlawanan dengan apa yang secara langsung mereka telah ‘sepakati’ adanya di televisi.
[1] Heli Guk Guk (Anjing Kecil) – Lagu Anak Indonesia
Rujukan:
Lenong Rumpi 1 (1991)/Yazman Yazid
Yangni, S. (2020). Waria, Bahasa dan Dunia Malam. Buku Baik.
Phillips, J. (2006). Transgender on Screen. Palgrave MacMillan.