
Ketika berbicara tentang makanan di Indonesia, sering kali kita terjebak dalam pembahasan seputar resep-resep makanan, festival kuliner, atau upacara tradisional terkait makanan. Namun, jarang sekali kita mendengar tentang peta gastronomi yang mencakup wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga pulau Rote. Begitu juga, kita seringkali terlewatkan dalam diskusi mengenai peran Indonesia dalam dunia kuliner, soal gastronomi dunia, atau soal-soal masalah pangan di Indonesia. Lebih sering, yang terdengar adalah ucapan sederhana seperti “belum makan,” hanya lantaran dia belum makan nasi, meskipun sebelumnya dia sudah makan singkong dengan lauk ikan laut sambal matah, mi goreng dua porsi, atau jajanan yang mengenyangkan lainnya. Apakah semua ini adalah akibat dari dominasi politik makanan massal dan upaya penyeragaman selera makan kita? Apa kemudian kebijakan dan regulasi negara ini perihal pangan kita? Jika kemudian kita bisa sedikit berbangga terhadap kontribusi rempah di Timur Jauh dalam sejarah kuliner dunia khususnya di Perancis dan Belanda, tapi kenapa kuliner kita terkesan di sini-sini saja?
Monokultur dan Diversifikasi Pangan Kita
Jurnal ini diawali dengan pengantar yang membicarakan soal keputusan monokultur yang diambil oleh Indonesia. Keputusan ini tampak buruk di tengah ragam bahan pangan lokal yang dimiliki oleh Indonesia. Indonesia adalah negara nomor dua dengan keragaman bahan pangan lokal. Keputusan untuk mengadopsi pola monokultur serta kurangnya pemanfaatan diversifikasi dalam bahan pangan lokal merupakan faktor yang mendasari ketidakmampuan negara dalam membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Praktik monokultur, yang menekankan pada produksi tunggal dalam skala besar, sering kali mengabaikan kebutuhan akan variasi pangan lokal yang penting untuk memperkuat ketahanan pangan. Ketika terlalu bergantung pada satu jenis tanaman atau produk pangan saja, negara rentan terhadap risiko gagal panen, fluktuasi harga, dan kerentanan terhadap perubahan iklim atau bencana alam. Diversifikasi bahan pangan lokal, di sisi lain, akan menciptakan jaringan pangan yang lebih stabil dan tangguh, memastikan pasokan pangan yang beragam dan berkelanjutan bagi masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memperkuat diversifikasi pangan lokal sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk meningkatkan kemandirian dan ketahanan pangan negara.
Peta Makanan
Sekarang saya paham kenapa misal ketika makan nasi lemak di Malaysia, di Malaysia bagian mana pun kita makan, ya nasi lemak wujud dan rasanya akan mirip antara satu dan lainnya. Melalui jurnal edisi ini saya mendapat jawaban soal keberagaman suku dan juga keragaman bumbu yang digunakan dalam makanan kita. Hal ini ketika kita cocokkan dengan makanan yang dekat rumah kita, katakanlah nasi campur Bali; antara tempat pasti berbeda; tempat satu menggunakan sayur timun, tempat satu menggunakan sayur gonda, dan tempat satu lagi menggunakan batang pisang. Ciri khas dan keragaman macam beginilah yang tidak dimiliki oleh beberapa negara di belahan lain. Sehingga jika kita lihat peluang dan keragaman makanan di Indonesia, ada peluang yang sejatinya begitu besar.
Selain itu, Indonesia juga tercatat memiliki kontribusi besar dalam sejarah makanan dunia. Ada tiga catatan mengenai kontribusi Indonesia yang saya ingat dan catat setelah membaca jurnal edisi ini.
Pertama, pada tahun 1500, bumbu rempah dari Indonesia memainkan peran penting dalam mengubah panorama citarasa dunia, menggeser dominasi kuliner Eropa yang dipelopori oleh Perancis. Inovasi kuliner ini tidak hanya memperkaya rasa hidangan, tetapi juga membuka pintu bagi dikenalnya rempah-rempah. Khususnya, lima jenis bumbu dari kepulauan Hindia Timur menjadi kunci dalam seni dapur masakan Perancis pada masa itu. Kayu manis, lada, bunga pala, pala, dan cengkeh, yang semuanya berasal dari rempah-rempah Timur Jauh, memperkenalkan kompleksitas rasa yang baru dan eksotis dalam hidangan Perancis yang sebelumnya hambar menjadi lebih terasa.
Kedua, pada abad ke-16 terjadi gelombang ekspedisi besar-besaran yang bertujuan menemukan benua Timur Jauh, yang merupakan pusat utama produksi rempah-rempah. Para penjelajah dari berbagai negara Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda, memimpin armada kapal menuju ke wilayah-wilayah yang kaya akan rempah-rempah seperti Indonesia. Motivasi utama dari ekspedisi ini adalah untuk memperoleh kontrol atas perdagangan rempah-rempah yang sangat berharga secara ekonomi dan mengamankan akses terhadap bahan-bahan tersebut.
Ketiga, pada abad ke-17 dan ke-18, terjadi perkembangan pola hidangan makanan yang terkenal dengan nama “rijsttafel” atau (rice table), sebuah tradisi kuliner yang berakar dari budaya Indonesia. Rijsttafel terdiri dari hidangan nasi yang disajikan bersama dengan berbagai macam lauk-pauk yang kaya akan ragam bumbu rempah. Hidangan ini berkembang pesat di bawah pengaruh kolonialisasi Belanda di Indonesia, di mana bangsa Eropa, terutama Belanda, sangat menghormati keberagaman dan kompleksitas rasa dalam hidangan ini. Rijsttafel menjadi bukti dari kemegahan dan keragaman kuliner Indonesia. Tradisi rijsttafel juga mencerminkan kekayaan rempah-rempah dan keunikan bahan makanan lokal Indonesia.
Membaca Jurnal Prisma edisi Kuliner dan Gastronomi Nusantara membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang masalah dan peluang di negeri ini terkait dengan bidang kuliner dan gastronomi. Melalui jurnal ini, kita dapat menjelajahi berbagai tantangan yang dihadapi baik oleh industri kuliner maupun pemangku kebijakan, sekaligus mengidentifikasi beragam peluang yang dapat dikembangkan untuk kemajuan sektor tersebut.
Salah satu dari banyak artikel menarik di edisi ini adalah tulisan dari Made Supriatma. Saya sangat menyukai tulisannya di edisi ini. Supriatma membahas soal Politik Selera Massal kita. Dia membandingkannya dengan apa yang terjadi di Thailand. Berangkat dari sejarah pimpinan militer tertinggi di Thailand, Supriatma menjelaskan bahwa ada perbedaan mencolok antara bagaimana Thailand dan Indonesia melaksanakan Politik Selera Massal. Thailand cenderung memperlakukan politik selera massal itu dengan melihatnya ke dalam, memaksa rakyatnya untuk menanam dan memasak makanan Pad Thai, di mana itu adalah makanan mi yang pengolahannya sangat sederhana. Dengan cara itu Thailand mengukuhkan Pad Thai itu sebagai makanan nasional. Sedangkan Indonesia, melakukan politik selera massal ini kebalikannya atau melihatnya dengan cara keluar. Indonesia mengimpor gandum dan memberi kebijakan sepenuhnya kepada PT Boga Bogasari sebagai perusahaan yang mengolah gandum itu menjadi tepung terigu. PT Bogasari pula adalah perusahaan yang memproduksi Indomie melalui PT IndoFood Sukses Makmur, satu produk Mi yang sebagian dari kita kenal. Indomie dengan kemudian bertransformasi yang kabarnya menguasai 70 persen pangsa pasar di Nigeria, Afrika bahkan juga Amerika. Uniknya lagi, berangkat dari tulisan Supriatma, saya jadi tahu kalau Indonesia adalah negara nomor empat terbesar di dunia mengonsumsi mie instan.
Yang juga menarik dan bagi saya mencerahkan adalah bagian Dialog Prisma. Dialog ini dipandu oleh Ismid Hadad, pendiri sekaligus redaktur senior di Prisma. Dialog ini menghadirkan Indrakarona Ketaren, Nur Hassan Wirajuda, Tantowi Yahya, Agus Trihartono. Dr Amanda Katili Niode, dan Diennaryati Tjokrosuprihatono. Saya merasa dialog mereka sangat mencerahkan. Mereka membicarakan soal bagaimana sebuah negara memperkenalkan makanannya, bagaimana posisi diplomasi gastro di Indonesia, pengalaman para duta besar, peluang, tantangan dan masih banyak lagi berkaitan dengan diplomasi gastronomi di luar negeri.
Dari dialog mereka saya menangkap jika posisi Indonesia masih kurang kuat di tataran dunia. Dibandingan dengan Thailand dan Vietnam, Indonesia mesti berstrategi dengan melihat peluang dengan bumbu rempah Indonesia. Bumbu rempah itu yang tidak bisa ditiru oleh negara lain. Ketimbang melakukan diplomasi gastronomi melalui pembukaan restoran atau tempat makan di luar negeri, Indonesia sudah waktunya memanfaatkan potensi ekspor bumbu masakan yang dibuat dari rempah-rempah.
Yang juga menarik dalam dialog itu adalah pendapat-pendapat yang berhubungan dengan posisi makanan Indonesia dan seperti apa laku atau peran duta besar dalam memperkenalkan makanan Indonesia. Kebanyakan duta besar Indonesia masih memperkenalkan makanan barat ketika ada yang bertamu ke kantor perwakilan Indonesia di satu negara. Ambil satu contoh dalam dialog itu adalah saat ada Duta Besar Perancis bertamu, alih-alih disuguhkan makanan khas Indonesia, duta besar Perancis itu malah disuguhkan steak yang mana steak berasal dari Perancis. Hal ini berbeda ketika kita membahas Duta Besar dari Jepang, Thailand, India, dan Cina. Empat negara ini akan menyajikan makanan khas mereka dan bila perlu mengundang chef terbaik mereka untuk memasak di kantor atau pun di rumah duta besar perwakilan mereka. Hal ini karena bagi mereka, kuliner atau gastronomi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tugas atau misi diplomasi negara-negara tersebut.
Meskipun ada duta besar Indonesia yang memperkenalkan makanan Indonesia namun selain di bawah standar, juga tidak mewakili identitas Indonesia. Hal itulah yang membuat citra masakan Indonesia tidak bisa naik. Dalam dialog ini masih ada banyak hal menarik dan mencerahkan, mulai dari soal Perubahan Iklim dan Gastronomi Berkelanjutan, Kebijakan Diplomasi Gatronomi di Masa Depan dan beberapa lainnya.
Kesimpulan
Jurnal Prisma edisi ini membahas gastronomi secara komprehensif dan menarik, dengan setiap artikelnya memiliki keunggulan bahasannya sendiri. Meskipun topiknya beragam, keseluruhan artikel dapat disimpulkan dengan benang merah yang terkait erat. Pada intinya, jurnal ini menyoroti kekayaan kuliner dan gastronomi Indonesia yang luar biasa. Namun, yang menjadi sorotan adalah belum optimalnya pemanfaatan potensi gastronomi ini. Meskipun memiliki beragam sumber daya kuliner yang kaya, masih terdapat tantangan dalam memanfaatkannya secara efektif dan optimal. Dengan demikian, jurnal ini memberikan pandangan yang mendalam tentang potensi dan tantangan dalam mengembangkan gastronomi Indonesia.
Kelemahan yang dihadapi dalam pengembangan gastronomi terutama meliputi beberapa aspek yang menjadi fokus utama. Pertama, terdapat kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep dan ruang lingkup gastronomi, serta keterbatasan literatur yang mempelajari dampak gastronomi dalam kehidupan manusia. Meskipun berbagai lembaga memiliki kebijakan dan regulasi terkait pangan, kurangnya sinergi antara lembaga-lembaga tersebut menyebabkan belum terbentuknya satu visi dan pendekatan yang terfokus pada penguatan gastronomi Indonesia. Selain itu, keberadaan lembaga khusus yang bertugas menangani pelestarian dan pengembangan gastronomi Indonesia masih belum ada, sehingga potensi besar dari kekayaan gastronomi Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mengakibatkan kurangnya identitas nasional yang kuat dari aspek gastronomi, yang seharusnya dapat menjadi pendorong bagi berbagai kebijakan dalam ranah sosial, ekonomi, dan budaya.