Terima kasih Mahima, Pak Ole dan Ibu Sonia.
Terima kasih kawan-kawan yang sudah hadir pada malam hari ini.
Selamat datang di Mahima, ruang ketiga saya sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, dua belas tahun lalu.
Selamat malam kawan-kawan, tidak seperti biasanya saya berdiri di sini sendiri dan berbicara satu arah. Yang biasanya kita berdiskusi. Tapi untuk saat ini, ijinkan saya untuk menyampaikan semacam tawaran sehingga berhubungan dengan acara pada malam hari ini. Tentu setelah ini kita bisa diskusi lebih lanjut.
Kawan-kawan, seperti kebanyakan anak desa pada umumnya, saya menghabiskan lebih banyak waktu bersama kawan-kawan di desa, bermain di gang-gang, di lapangan, di sungai; mencari capung, bermain layangan dengan benang pendek, melempar batu untuk melihat batu siapa yang melompat lebih banyak di air, membuat singkong bakar di sungai, dan lainnya. Setiap Minggu, saya bisa menghabiskan seperempat hari bersama kawan-kawan di sungai. Bahwa saya tak tumbuh sejak kecil dengan buku—dengan keberuntungan mengenal banyak silsilah bacaan layaknya Matilda dalam karya Roald Dahl yang dalam seminggu bisa menghabiskan Great Expectations karya Charles Dickens, kemudian dilanjutkan dengan Nicholas Nickleby, Oliver Twist, Jane Eyre, Pride and Prejudice, Gone to Earth, The Invisible Man, The Old Man and the Sea, The Sound and the Fury, The Good Companions, Brighton Rock atau Animal Farm. Di umur empat tahun, Matilda mengenal semua bacaan itu, dan menandaskan semua bacaannya dalam kurun waktu tidak lebih dari enam bulan.
Tentu, hal ini tidak bisa kita lihat sekilas atau tanpa melihatnya dengan kesadaran kelas sosial dan hak-hak istimewa yang melekat dalam diri kita masing-masing. Jika kalian tumbuh dengan ragam bacaan bagus, pendidikan yang layak, dan mudah terhadap akses informasi dan pengetahuan, kalian adalah orang yang memiliki hak istimewa itu. Matilda tumbuh dari keluarga kelas menengah yang orang tuanya memandang TV atau pun bingo lebih penting ketimbang membeli buku atau koran, namun Matilda beruntung karena ada perpustakaan dekat rumahnya, menjadikan perpustakaan itu adalah ruang ketiga baginya; setelah rumah dan sekolah.
Saya tak tumbuh menghabiskan berjam-jam di perpustakaan atau ruang-ruang tempat membaca buku saat kecil seperti Matilda. Saya kerap berpikir atau paling tidak menghubung-hubungkan apa yang saya kerjakan saat ini atau apa-apa yang saya mulai saat ini adalah mungkin akumulasi dari apa yang saya tidak dapat di masa kecil.
Ketika banyak penulis atau banyak orang telah mengenal banyak silsilah bacaan sejak kecil, saya hanya mengenalnya beberapa. Yang sesekali ceritanya saya dapat dari buku di perpustakaan sekolah dasar yang waktu itu pun jumlahnya tak seberapa.
Yang paling jelas melekat di ingatan saya adalah dari seri Dongeng untuk Aku dan Kau tahun 2000an yang didapat dari hadiah membeli susu; kenapa anjing tak bertanduk, keong kecil dan rumahnya, induk ayam yang cerdik dan cerita-cerita lain tentang kerbau. Kerap untuk mendapatkan buku baru saya harus cepat-cepat menghabiskan susu, hanya untuk mendapat seri cerita lainnya. Seri ini pula kerap membuat saya rajin minum susu, yang berarti semakin cepat susu habis, semakin mungkin mendapat buku baru sebagai hadiah di belakang kemasannya. Selebihnya, tidak ada buku anak yang saya bisa akses saat kanak-kanak. Hal ini karena posisi rumah dan akses dengan hal tersebut.
Banyak guru (secara profesi) yang saya temui dari TK hingga SMA. Mulai dari guru berambut kriting, berambut lurus, bertubuh gempal, kurus, hingga guru yang tingginya sepertiga ukuran tiang bendera. Tapi ketika diminta menyebutkan berapa jumlahnya, mungkin saya tidak akan mengingatnya atau lebih tepatnya tak banyak mengingat kenangan bersamanya. Tapi ketika diminta menyebutkan satu guru yang menjadi jembatan saya bertemu Singaraja adalah Ibu Artini. Sampai kapanpun, saya akan berterima kasih kepadanya, telah menjadi satu dari sekian guru yang berpengaruh dalam hidup saya.
Masih ingat sekali di kantin paling ujung, saya dan teman-teman asyik membicarakan banyak hal sehingga kami tak mendengar bel sekolah berbunyi. Ketika merasa aneh tak ada suara lain selain kami di kantin, saat itulah kami langsung lari menuju ke kelas. Saya dan teman-teman terlambat dan tempat kami menghabiskan waktu saat itu ya perpustakaan. Saat itulah saya bertemu Ibu Artini dan hari itu saya mengenal Harry Potter and The Sorcerer’s Stone untuk pertama kalinya. Hari-hari tampak perlahan berubah dan saya dihadapkan pada pilihan kampus, Denpasar atau Singaraja. Satu-satunya guru yang saya ajak diskusi adalah Ibu Artini.
Kesamaan saya dengan Matilda mungkin hanya satu hal; dipertemukan dengan penjaga perpustakaan yang berpengaruh. Sama beruntungnya dengan Matilda yang bertemu Mrs. Phelps di perpustakaan, begitu juga saya bertemu Ibu Artini di perpustakaan. Perjumpaan dengan bu Artinilah yang membawa saya kemudian pada Singaraja dan bertemu dengan Mahima, tempat saya berdiri hari ini.
Perjumpaan saya dengan Mahima adalah pejumpaan dengan apa yang oleh Ray Oldenburg dan Karen Christensen sebut sebagai perjumpaan di Ruang Ketiga. Ruang ketiga adalah tempat berkumpulnya masyarakat, berbeda dengan rumah (tempat pertama) dan tempat kerja (tempat kedua). Ruang ketiga yang tradisional adalah sering diibaratkan sebagai surga bagi pergaulan di mana percakapan adalah aktivitas utama dan keramahtamahan lebih diutamakan.
Saya beruntung ketika akses terhadap bacaan saat kecil kurang, ruang ketiga saat di Singaraja, Mahima, memberikan semua itu, Ia tidak serta merta disodorkan seperti bagaimana gorengan ada di atas meja. Kita sendirilah yang mencari apa yang ingin kita tau di antara deret buku yang berjejer di sini. Saya lupa, selama dua belas tahun itu, sudah berapa kali tata letak rumah ini berubah, khususnya buku-buku di belakang.
Sebagai ruang ketiga, setelah kampus atau di kampung; Mahima memberi saya ruang untuk bertemu kawan-kawan yang tak mungkin saya temui di lorong-lorong kampus, atau yang tak mungkin saya ajak mencari capung di kampung. Adanya Tatkala juga menjadi jembatan saya untuk menjadi semakin dekat dengan orang-orang di sini, atau kerap saya menyebutnya keluarga saking tidak ada kata lagi yang pas untuk disematkan kepada mereka, Nyaris lima bulan setelah kelulusan, saya hanya mempunyai dua ruang; rumah dan tempat kerja. Tatkala hadir kemudian menjadi ruang ketiga saat jauh atau saat tidak bisa hadir langsung di sini. Perjumpaan dengan orang-orang yang baru dan dengan jumlah yang berapa kali lipat lebih banyak dari anak-anak Mahima membuat saya lebih terdorong untuk mencari tahu banyak hal, dengan waktu yang saya berikan lebih lama, melampaui apa-apa yang saya cari sebelum-sebelumnya, bahkan hingga menginspirasi saya untuk juga menciptakan ruang ketiga yang lain.
Ruang ketiga adalah satu konsep yang menarik dalam konteks tempat-tempat di luar rumah dan tempat kerja yang sering diabaikan namun memiliki potensi besar untuk menginspirasi kreativitas dan memperluas cara pandang. Ini adalah ruang yang tidak terikat oleh tuntutan formalitas atau struktur yang kaku, di mana individu bisa berkumpul untuk berdiskusi, berbagi ide, atau bahkan hanya bersantai tanpa tekanan. Ruang ketiga sering kali menjadi tempat di mana gagasan-gagasan segar lahir, kolaborasi terjadi, dan hubungan sosial diperkuat. Dengan suasana yang santai dan atmosfer yang mendukung, Ruang ketiga memungkinkan individu untuk merasa lebih nyaman dalam mengekspresikan diri, menciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide yang dinamis. Ruang ketiga bukan hanya tempat fisik, tetapi juga tempat di mana gagasan-gagasan baru berkembang dan koneksi-koneksi baru terbentuk, menjadikannya sebagai elemen penting dalam pembentukan budaya dan komunitas yang beragam.
Ruang ketiga memiliki kepentingan besar sebagai tempat belajar karena menyediakan lingkungan yang berbeda dari sekolah atau tempat kerja yang formal. Dengan suasana yang santai, ruang ketiga memungkinkan individu untuk merasa lebih nyaman dan rileks, yang dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan untuk belajar. Selain itu, keterbukaan terhadap ide baru dan kemungkinan kolaborasi antara individu dengan latar belakang yang berbeda menjadikan ruang ketiga sebagai tempat yang ideal untuk pertukaran ide yang dinamis dan pembelajaran lintas disiplin. Kemungkinan belajar tanpa tekanan formal dan koneksi sosial yang terjalin di ruang ketiga juga dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan individu dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, ruang ketiga tidak hanya menyediakan tempat untuk belajar, tetapi juga memfasilitasi pertumbuhan pribadi dan profesional melalui kolaborasi, eksplorasi minat, dan pembangunan komunitas belajar yang inklusif dan saling mendukung.
Minggu, 18 Februari 2024, Alia Swastika menulis di Jawapos soal apa yang ia sebut sebagai Rezim Administratif. Baginya, “sektor seni dan budaya, misalnya, memasuki rezim administratif dengan digelontorkannya dana Indonesiana, beragam insentif dan program-program seni puluhan miliar rupiah, yang membuat para seniman dan pekerja seni–termasuk saya–sibuk dengan proposal, anggaran, dan laporan, alih-alih berfokus sungguh pada upaya untuk menciptakan ruang kebudayaan yang terus menjadi alternatif gerakan masyarakat sipil.”
Ada dua hal yang saya garis bawahi dari pernyataan itu; pertama soal rezim administratif, kedua soal menciptakan ruang kebudayaan. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Alia Swastika. Hari ini kesenian, tampak seolah terperangkap pada kerja-kerja administratif. Alih-alih untuk menciptakan ruang untuk seni atau politik alternatif, seniman dipaksa untuk kerja-kerja administrasi, membuat proposal, laporan kegiatan, laporan keuangan ini itu dan seterusnya. Sebagai seorang yang hidup dan menggeluti seni pernahkan kita mengajak atau melibatkan diri kita pada kerja-kerja evaluitatif—kerja-kerja yang melibatkan proses evaluasi; kenapa kita membuat ini, untuk apa membuat ini, bagaimana posisi kita, bagaimana ide ini hadir, bagaimana ide ini berdampak pada diri kita sendiri, pada lingkungan, pada masyarakat dan seterusnya. Pernahkan kita mengevaluasi kerja-kerja kita? Sehingga, bagaimana seni hari ini membentuk kita menjadi seorang neolib-neolib baru—yang membuat ini itu dengan cepat—tanpa proses-proses yang melibatkan evaluasi di dalamnya. Evaluasi ini penting pun jika dilakukan di luar diri, katakanlah kita secara kolektif.
Evaluasi memungkinkan kita untuk bersama-sama mendudukkan satu kejadian, satu peristiwa, atau satu ide bersama-sama sekaligus memberinya penilaian atau pemaknaan. Dengan begitu, hal-hal yang ada di belakang kepala kita sebelum menulis/menciptakan karya seni ini, membawa dampak atau evaluasi kolektif yang menyeluruh karena proses evaluasi yang kita lakukan serentak secara kolektif.
Partikular dibentuk sebagai satu penerbit yang juga berkomitmen untuk menjadi ruang diskusi, tempat mengakses literatur alternatif, namun juga satu platform yang di mana kita sebagai masyarakat sipil bisa susun sebagai salah satu strategi atau siasat dari politik alternatif. Sehingga lagi-lagi, kebudayaan kita tidak akan terperosok, apalagi terperangkap pada kubangan kerja-kerja administratif. Kerja-kerja kita adalah kerja-kerja yang mencoba menjadi atau sekaligus membuka ruang secara inklusif sehingga gagasan, ide dan apapun untuk kerja-kerja kolektif ini bisa kita tempuh.
Umur Partikular, mungkin belum bisa disebut dini karena belum menyentuh satu tahun kelahirannya. Namun terlepas dari itu, ruang ketiga ini mesti dimulai entah di mana pun. Karena dengan begitu, kita bisa bertukar gagasan, membuat satu platform bertemu. Hanya dengan begitu pula, siasat bersama bisa kita rumuskan bahwa kesadaran kolektif mesti dilakukan dari terciptanya ruang yang inklusif dan ruang yang mengakomodir orang-orang bahkan lingkungannya.
Partikular sebagai penerbit bisa saja menyimpan buku-bukunya di rumah saya, di rumah Sri, atau di rumah orang-orang yang dipercaya Partikular. Namun, apakah dengan begitu ruang sekaligus platform alternatif bisa kita rumuskan, bisa kita petakan atau bisa kita gerakkan? Hidup dan tinggal di kota dengan jumlah toko buku tak lebih dari jumlah jari tangan, komunitas buku yang entah kini bagaimana nasibnya adalah hal-hal seolah kita normalisasi ketidakberadaannya. Bagaimana bisa kabupaten atau kota yang disebut kota pendidikan tidak punya toko buku satu pun? Tidak punya perpustakaan keren dan lain sebagainya. Lalu kemudian pertanyaannya adalah, apakah alasan penyebutan kota pendidikan itu? Apakah hanya karena ada kampus pendidikan, kita bisa sebut kota itu kota pendidikan? Tanpa perlu memperhitungkan akses terhadap perpustakaan, gedung arsip dan lain sebagainya? Pertanyaan itu mesti kita jawab atau seminimal-minimalnya kita evaluasi. Sehingga sebagai warga, kita berhak untuk mengakses buku-buku yang layak, informasi yang baru dan seterusnya, dan seterusnya. Hanya dengan begitu kesadaran kita akan kelas; kesamaan level informasi bisa berdekatan dan tidak jomplang sangat jauh.
Kalau sudah begitu, pertanyaan lanjutannya adalah dengan cara apa kita mengorganisir diri kita? Dengan cara bagaimana kita bisa menghadirkan ruang alternatif bersama?
Nongkrong sebagai Strategi
Saya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan sebuah praktik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari: nongkrong. Mungkin terdengar sederhana, namun dalam kegiatan ini terdapat potensi besar untuk menjadi sebuah strategi belajar yang kuat, sarana berbagi pengetahuan, dan bahkan alat untuk meningkatkan kesadaran kita tentang lingkungan sekitar secara lebih kritis.
Nongkrong, dalam konteks yang saya maksud, tidak hanya sebatas duduk-duduk tanpa tujuan. Ini adalah momen di mana kita berkumpul dengan kawan-kawan, keluarga, atau bahkan orang asing, untuk berdiskusi, berbagi cerita, dan bertukar ide. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk memperluas wawasan kita, belajar dari pengalaman orang lain, dan menyimak perspektif yang berbeda.
Di tengah-tengah kesibukan hidup modern, di mana kita sering kali terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang sibuk dengan urusan ruang pertama dan ruang kedua, nongkrong menjadi waktu berharga di mana kita bisa memperlambat langkah, menikmati kebersamaan, dan secara tidak langsung, meningkatkan kapasitas belajar kita. Ketika kita duduk bersama, mendengarkan cerita kawan-kawan, mendiskusikan topik-topik yang menarik, atau bahkan sekadar merenungkan hal-hal kecil dalam kehidupan, kita secara alami menyerap pengetahuan baru dan melatih kemampuan berpikir kritis kita.
Tidak hanya itu, nongkrong juga merupakan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran kita tentang lingkungan sekitar. Dalam percakapan santai, kita bisa saja membahas isu-isu lingkungan, sosial, atau politik yang relevan. Dengan memperluas wawasan kita melalui diskusi semacam itu, kita menjadi lebih peka terhadap masalah-masalah yang ada di sekitar kita. Ini dapat memicu motivasi untuk bertindak dan berkontribusi pada perubahan positif di masyarakat.
Namun, untuk memastikan bahwa nongkrong benar-benar menjadi strategi belajar yang efektif dan sarana untuk meningkatkan kesadaran kita secara kritis, kita perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama-tama, penting untuk memilih lingkungan nongkrong yang mendukung diskusi terbuka dan berpikir kritis. Kedua, kita harus bersikap terbuka terhadap pendapat dan pandangan yang berbeda, sehingga kita bisa benar-benar memperkaya pemahaman kita. Terakhir, kita harus memastikan bahwa nongkrong tidak hanya menjadi ajang menghabiskan waktu luang, tetapi juga waktu yang bermakna yang dapat menghasilkan pembelajaran yang berarti.
Dengan memahami potensi besar yang terkandung dalam praktik ini, kita dapat mengubahnya menjadi sebuah alat yang kuat untuk belajar, berbagi pengetahuan, dan meningkatkan kesadaran kita tentang dunia di sekitar kita. Momen nongkrong adalah kesempatan untuk tumbuh dan berkembang bersama-sama.
Ruang ketiga (apa yang saya dapat di Mahima) dan gaya nongkrong yang mungkin dulu intensitasnya tidak sesering sekarang, adalah satu dari ragam apa yang bisa ditarik dijadikan tawaran kedepannya. Semakin sedikit ruang ketiga, semakin sedikit pula langkah kita untuk nongkrong, berbagi gagasan, kritis membaca zaman, dan juga mencari alternatif dari apa yang sudah ada sekarang.
Jika ruang ketiga semakin sedikit, dampaknya dapat dirasakan dalam berbagai aspek pembelajaran dan perkembangan sosial. Pertama, keterbatasan ruang dapat mengurangi kesempatan untuk pembelajaran kolaboratif dan pertukaran ide yang kaya. Hal ini dapat menghambat kemampuan individu untuk mendapatkan wawasan baru dan perspektif yang beragam. Selain itu, pembatasan ruang juga dapat membatasi kreativitas, karena individu mungkin merasa terbatas dalam cara mereka mengekspresikan diri dan berkolaborasi dengan orang lain. Kurangnya ruang ketiga juga dapat berdampak negatif pada pembentukan komunitas belajar yang mendukung, karena hubungan sosial yang kuat sering kali dibangun di tempat-tempat semacam ini. Selain itu, aksesibilitas juga menjadi masalah, karena individu yang tinggal di daerah dengan sedikit ruang ketiga mungkin kesulitan untuk menemukan tempat di mana mereka dapat berkumpul dan belajar bersama orang lain. Yang terakhir, kurangnya ruang ketiga juga dapat menghambat pembelajaran lintas disiplin, karena kolaborasi lintas disiplin sering terjadi di ruang semacam ini, yang penting untuk pertumbuhan holistik dan pemahaman yang luas tentang dunia. Dengan demikian, keterbatasan ruang ketiga dapat mengurangi peluang belajar dan pertumbuhan sosial yang penting bagi perkembangan individu dan komunitas kita bersama.