Pemahaman tentang 1965 seringkali berbentuk puzzle yang keping-kepingnya tercecer dan tak pernah lengkap. Sebagai generasi yang datang belakangan, saya tidak mengalami langsung peristiwanya, hanya mendengar sisanya, potongan-potongan yang terselip, berserakan di antara percakapan keluarga, tetangga, guru-guru, orang-orang tua, buku-buku, film, internet, singkatnya, ada banyak hal yang tak sampai sebagai cerita utuh. Dalam banyak hal, saya merasa sejarah itu terasa dekat tapi tak bisa dijangkau, terlalu besar untuk dijelaskan lewat catatan resmi, dan terlalu rumpang untuk diceritakan sebagai kesaksian langsung. Dengan fiksi, saya merasa bisa membuka cara lain untuk mengingat, bukan sekadar mencatat peristiwa, tapi menyusuri bagaimana ia tinggal dalam kehidupan sehari-hari, dalam bahasa, dalam relasi, dalam tubuh.

Saya percaya bahwa fiksi bisa menjadi ruang lain untuk mendekati masa lalu. Mungkin saja, fiksi yang mengangkat sejarah tidak sedang mencoba memberi jawaban, bahkan mungkin tidak punya gelagat untuk itu. Ia justru memberi ruang bagi keraguan, bagi kegelisahan, dan bagi pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai. Dalam Menuai Badai, saya mencoba mengikuti jejak itu, menulis dari ketegangan antara yang ingin diingat dan yang dipaksa untuk dilupakan. Dan benarkah masa lalu itu benar-benar sudah lewat, atau justru menetap dalam hal-hal kecil yang tak kita perhatikan, yang pelan-pelan membentuk cara kita hidup hari ini? Dan apa yang terjadi ketika yang kita sebut masa lalu, ternyata belum lewat? Mungkin novel ini hanya upaya kecil, tapi saya ingin percaya bahwa dari fiksi pun, seseorang bisa mulai menggali. Bukan untuk menemukan jawaban, tapi agar pertanyaannya tak lagi sendirian. Karena saya menulis bukan dari kepastian, melainkan dari kegelisahan yang tak kunjung reda. Rasanya, terlalu banyak yang dibiarkan terlupakan, disederhanakan, atau disimpan rapi agar tak mengganggu. Menulis, bagi saya, adalah cara untuk mengganggu itu sedikit saja. Untuk memberi ruang bagi pertanyaan yang tak selesai, agar ia tak hanya hidup di kepala, tapi bisa berpindah, bertemu, dan tumbuh di benak orang lain. Mungkin dari sana, saya bisa mulai bicara, kita bisa mulai bicara, atau paling tidak, berhenti diam.

Saya pikir tur ini bukan bagian dari perayaan, mungkin lebih kepada upaya untuk membuka ruang percakapan-percakapan itu, ruang melontarkan banyak tanya, yang bisa jadi setiap dari kita tak bisa menjawab satu-dua pertanyaannya, atau bisa jadi pula, satu-dua dari kita bisa menjawab pertanyaannya. Berangkat dari kepercayaan itu, saya akan mengunjungi beberapa kota: Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Tidak ada pola acara yang seragam; di satu kota mungkin berupa diskusi lingkar kecil, di kota lain dengan format bedah buku, di kota lain bisa jadi sesi membahas proses menulis atau membaca bersama isi buku. Tidak ada bentuk baku dan seragam. Saya pikir buku bisa menjadi pintu masuknya, juga bisa menjadi jembatannya, sekecil apa pun, selalu ada kemungkinan untuk bertukar pandang melalui percakapan-percakapan. Jika teman-teman lowong, mari berjumpa.

9 Juli 2025 - C20 Library and Collabtive, Surabaya

C20 Library and Collabtive. Jalan Doktor Cipto No.22, DR. Soetomo, Kec. Tegalsari, Surabaya. Informasi selengkapnya di C2O Library and Collabtive.

10 Juli 2025 - Warung Sastra, Yogyakarta

Warung Sastra. Depan Indonesia College, Blunyahrejo TR II No.1180, Karangwaru, Kec. Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Informasi selengkapnya di Warung Sastra

11 Juli 2025 - TB Pelagia, Bandung

Toko Buku Pelagia. Luxor Permai, Jl. Kebon Jati B No.Kav 12A, Kb. Jeruk, Kec. Andir, Kota Bandung, Jawa Barat. Informasi selengkapnya di Toko Buku Pelagia.

12 Juli 2025 - Makarya, Jakarta

Makarya. Jl. Matraman Raya No.46-50, RT.12/RW.2, Kb. Manggis, Kec. Matraman, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Informasi selengkapnya di Makarya