
Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan percintaan muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman. Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan sangat dikuasai oleh perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Ada pula yang mengatakan jika tokoh-tokoh dalam karya sastra romantisisme tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Apakah sepenuhnya begitu?
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia V, kata romantis memiliki arti bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan); bersifat mesra; mengasyikkan. Roman adalah istilah sastra untuk pengoperasian indera, bukan sisi intelektual. Karya sastra romantik seringkali mengandung pemujaan terhadap sesuatu yang besar, baik dalam penulisan tokohnya maupun dalam penggambaran peristiwa dan suasananya, sehingga jauh dari pemahaman realitas.
Istilah romantik boleh dikatakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan Eropa. Kalaupun kita ingin memahami dan mencari ciri-ciri romantisisme dalam tradisi sastra Indonesia, mau tidak mau kita harus berurusan dengan perkembangan tradisi kesusastraan Eropa yang memperkenalkan istilah romantisisme tersebut (Damayanti, 2019). Romantik dan romantisme berasal dari kata romans, yakni bahasa (dialek) rakyat Perancis pada abad Pertengahan (1800-1851). Istilah tersebut kemudian berkembang dan berarti cerita khayalan yang aneh dan menarik, cerita yang penuh petualangan, dan cerita-cerita yang mengandung unsur percintaan (Ratna, 2005: 48). Romantisisme merupakan aliran dalam sastra, yang menekankan pada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudannya. Aliran ini lahir dan berkembang pada abad ke-18 di Eropa sebagai gerakan untuk menentang klasikisme, yaitu aliran yang mengutamakan keteraturan dalam berpikir, bersikap, dan bersifat konvensional.
Romantisisme (Saini dalam Damono, 2005:51), adalah gerakan kesenian yang mengunggulkan perasaan (emotion, passion) imajinasi, dan intuisi. Para seniman romantik cenderung mengunggulkan sifat individualistis daripada konformistis. Karya seniman romantik menekankan hal yang bersifat spiritualitas atau fantastik. Minatnya pada alam yang masih liar dan belum diolah sangat besar. Tokoh-tokoh eskapisme romantis lebih menyukai tempat-tempat yang alami, natural, bunga-bunga, sinar mentari atau bulan purnama. Sifat otentik kaum romantik adalah pandangan filosofis yang menolak hal-hal yang palsu atau artifisial, seperti ketentuan sosial, hukum material, dan penaklukan individu oleh hal-hal yang nonemotif. Romantik menjauhi kejenuhan atau kebiasaan, dan melihat sesuatu secara berbeda. Romantika menyeret orang sampai batas-
batas yang tidak terduga.
Menurut Sumardjo (Damono, ed., 2005:60) aliran romantik bersifat idealisme. Ruang kesadarannya lebih dominan daripada ruang empiriknya. Sementara itu di satu sisi romantik melawan rasionalisme. Oleh karena itu, kaum romantik lebih suka memilih tema-tema sejarah dan mitos-mitos atau cerita rakyat. Kesederhanaan, kemurnian, keaslian, kedalaman, keunikan, menjadi ciri aliran ini. Aliran romantik menyentuh kodrat manusia,yang tidak hanya terdiri atas rasio, tetapi juga perasaan dan rohani. Kebenaran itu bukan hanya segala yang masuk akal, melainkan juga yang sesuai pertimbangan nurani. Tujuan utama aliran romantik adalah agar pembaca tersentuh emosinya.
Romantisme merupakan suatu aliran karya sastra yang lebih mengutamakan perasaan. Perasaan yang mendominasi adalah perasaan yang indah dan menggetarkan jiwa dalam menjalani sebuah percintan namun adapula gambaran perasaan yang tersakiti karena kesalahan masa lalu atau takdir kehidupan. Romantisme adalah cerminan kehidupan manusia, menggunakan bahasa yang indah untuk menyentuh emosi pembaca dengan kata lain, keindahan adalah inti dari romantisme.
Keindahan adalah sifat-sifat yang merujuk pada sesuatu yang indah, dimana manusia mengekspresikan perasaan indah tersebut melalui pelbagai hal yang mengandung unsur estetis yang dinilai secara umum oleh masyarakat. Keindahan membuat diri manusia terkagum-kagum akan suatu pesona dari manusia, benda, lingkungan tempat tinggal namun pemandangan alam yang dilihatnya. Dalam fragmen Saidjah-Adinda, keindahan tidak hanya terletak pada ceritanya, tetapi juga pada karakter, alur, dan hal-hal lain yang mendukungnya, seperti puisi-puisi yang disampaikan Saidjah maupun nyanyian-nyanyian saat dia menunggu kedatangan Adinda. Perasaan-perasaannya yang romantis lekat tertuang pada apa yang dia sampaikan dan pikirkan.
Sebagai karya yang indah, fragmen Saidjah-Adinda juga memiliki sifat-sifat romantisme, yang dalam hal ini tidak bisa dilepaskan dari aliran romantisme karya sastra. Karya sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja perasaan dan pikiran dan merupakan pancaran emosi yang dikendalikan oleh pikiran-pikiran yang
agung. Karya sastra mengajak penikmatnya untuk merenungkan hidup dan kehidupan ini lebih mendalam, mengajak mengenal manusia dengan kemanusiaannya (Yulianto, 2019). Semua itu dilakukan karya sastra dengan caranya yang khas, yakni dengan kehalusan dan keindahan. Karya sastra mempunyai kemampuan lebih keras dan kuat menoreh perasaan-perasaan penikmatnya.
Berbicara tentang romantisme, tentu kita tak akan hanya bicara hal ikhwal macam jungkir balik perasaan senang dan sedih, ataupun hal banal macam jatuh cinta dan sakit hati. Suka, duka, dan segenap perasaan lainnya memang berkelindan dan berdampingan dengan hidup Saidjah dan Adinda, namun hal ini bukanlah satu-dua objek yang hanya bisa kita teropong untuk melihat secara utuh lanksap fragmen Saidjah-Adinda. Hal inilah yang membuat kita perlu melihat lagi apa-apa yang ditinggalkan, atau mungkin apa-apa yang memang dengan sengaja diberikan oleh Multatuli untuk kita lihat dengan lebih jernih, untuk kita dedah dengan lebih kecil, karakteristik romantisme yang bisa kita baca dalam fragmen Saidjah-Adinda.
Saidjah-Adinda adalah sebuah fragmen dalam buku berjudul Max Havelaar karya Multatuli yang menampilkan realitas dan keindahan tersebut. Saidjah-Adinda bercerita tentang sepasang kekasih yang berakhir perih. Cerita bermula dari kerbau Saidjah yang dirampas oleh tuan tanah. Karena hidup miskin dan merasa bahwa hal ini tak akan mungkin terjadi terus-terusan, Saidjah berkeinginan untuk merantau keluar kota. Di sana ia akan bekerja membantu majikannya dan berjanji untuk pulang ketika waktunya telah tiba. Sebelum perjalanan, Saidjah menemui kekasihnya Adinda, di sana ia berjanji untuk kembali tiga tahun yang akan datang, kalau meminjam istikah Saidjah yaitu dua belas bulan dikalikan tiga. Saidjah meminta Adinda untuk mencatat setiap bulan baru yang datang pada kayu tenunnya. Sehingga, ketika dua belas bulan dikali tiga sudah berlalu, Saidjah akan menemui Adinda di pohon Ketapang; tempat dimana ia bertemu pertama kali dengan Adinda sewaktu kecil dulu.
Saidjah pun berangkat untuk bekerja. Sepanjang perjalanan yang ada di kepalanya hanya Adinda. Perasaan untuk meninggalkannya sungguh sulit tapi itu harus dilakukannya demi cita-cita membeli dua kerbau dan menikahi Adinda. Pagi berlalu dan malam pun berlalu, Saidjah sudah memiliki banyak harta dan dua belas bulan dikali tiga sudah selesai. Dia pun meminta surat berhenti bekerja dan kembali ke kampungnya dengan harapan segera bertemu dengan Adinda dan segera menikahinya. Malang tak mampu ditolak, Adinda tidak ia temui di bawah pohon ketapang. Lama menunggu, Saidjah memutuskan untuk mencarinya di rumah. Namun rumah Adinda telah rata dengan tanah. Keluarganya meninggal dan ia dikabarkan pergi ke lampung dengan perahu. Karena perasaan kaget, Saidjah sempat dianggap gila oleh warga. Setelah ditenangkan, Saidjah merasa perlu bertemu dan menjeput kekasih hatinya. Namun malang kembali ditemuinya, Adinda, kekasihnya itu ditemukan telah mati akibat pertempuran dengan Belanda. Saidjah pun ikut menyerang Belanda, tapi sayang seribu sayang, Saidjah.dan Adinda meninggal secara tragis.
Dalam perjalanan pulang pasca bekerja di ibu kota dan saat-saat Saidjah menunggu kedatangan Adinda, Multatuli menggunakan berbagai bentuk karakteristik Romantisme. Artikel ini ingin meneroka lebih dalam lagi bentuk-bentuk karakteristik romantisme dari fragmen Saidjah-Adinda dalam buku Max Havelaar beserta contoh-contohnya. Kata meneroka dalam hal ini dipinjam untuk digunakan dan/ dimaknai sebagaimana arti sesungguhnya yaitu untuk membuka “lahan” baru, mengekspolari dan menemukan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang berkaitan dengan pembahasan romantisme dari fragmen Saidjah-Adinda dalam buku Max Havelaar.
Artikel ini menjelajahi bagaimana bentuk semangat romantisme dituangkan dalam fragmen Saidjah-Adinda yang digolongkan ke dalam karakteristik utama romantisme. Berdasarkan tujuan tersebut, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode yang digunakan dalam kajian ini dijabarkan ke dalam Langkah-langkah sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, yaitu (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. Pendekatan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini adalah suatu prosedur penelitian dengan hasil sajian data deskriptif berupa tuturan pengarang dalam fragmen Saidjah-Adinda dalam novel Max Havelaar.
Penelitian ini menggunakan teori romantisme dengan pendekatan analisis struktural yang bertujuan untuk mengetahui unsur pembentuk karya sastra. Dalam hal ini, penelitian difokuskan untuk melihat bentuk-bentuk karakteristik romantisme yang terdapat dalam fragmen Saidjah-Adinda beserta contoh-contohnya. Menurut Nurgiyantoro (2000:37) aanalisis struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan, misalnya bagaimana keadaan tema, tokoh, plot (alur) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekadar mendalami unsur tertentuk sebuah karya, misalnya plot, penokohan, latar atau
yang lainnya. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai.
Pengumpulan data dilakukan dengan membaca seluruh novel terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengidentifikasi secara umum. Setelah itu mengerucutkannya dan hanya berfokus pada fragmen Saidjah-Adinda. Lalu dilakukan pembacaan secara cermat dan menginterpretasikan bentuk-bentuk utama karakteristik romantisme dalam fragmen tersebut. Selanjutnya menghimpun data berupa kutipan-kutipan yang mengarah pada bentuk-bentuk karakteristik utama romantisme serta menganalisis tema utama dalam fragmen Saidjah-Adinda. Data tersebut berupa kalimat atau paragraf yang mengandung unsur romantisme. Langkah berikutnya, data dianalisis dengan mencari unsur romantismenya dan dipaparkan beserta penafsirannya secara deskriptif.
Fragmen Saidjah-Adinda dalam novel Max Haveelar bertemakan percintaan dan perjuangan. Hal ini dapat kita lihat ketika sejak awal cerita dituliskan. Tujuan melihat tema tersebut adalah dengan harapan dapat melihat fragmen ini lebih terfokus, menyatu, dan mengerucut. Hal tersebut terjadi karena tema memberikan koherensi dan makna pada fakta-fakta cerita (Stanton, 2012: 72).
Berdasarkan pembacaan berulang ditemukan beberapa unsur karakteristik utama romantisme. Uraian penjelasan dan contoh-contoh unsur karakteristik utama yang ditemukan akan dibagi menjadi enam bagian. Hal tersebut meliputi: (1) kembali ke alam, (2) individual, (3) primitif, (4) sentimental, (5) melankolik, dan (6) idealisasi perempuan.
Kembali ke alam
Karya sastra sebagai salah satu karya fiksi mampu menggambarkan secara komprehensif sebuah kejadian yang melibatkan alam sebagai salah satu objek kajian yang mempengaruhi peran seorang tokoh atau sebaliknya peran atau karakter seorang terbentuk dari kehidupan manusia sehari-hari. Alam adalah tempat manusia tinggal dan manusia menggunakan alam sebagai inspirasi dalam membuat sebuah karya ataupun mempengaruhi semua orang menyeukai alam.
Alam dan segala bentuk penggambarannya merupakan hal penting bagi kaum Romantisme, tak terkecuali Multatuli. Multatuli menaruh perhatian lebih pada cara penggambaran atau penjelasan tentang sesuatu dengan menggunakan alam sekitar sebagai daya ungkapnya. Dengan kata lain, Multatuli meminjam alam untuk mengungkapkan sesuatu yang lain. Adapun hal-hal yang dominan dia gunakan sebagai daya ungkapnya antara lain; cahaya, tanah, kupu-kupu, bintang, matahari dan bunga-bunga seperti bunga melati serta bunga kenari. Seperti yang bisa kita lihat dalam kutipan ini:
“Alam tersenyum kepadanya, seakan menyambutnya seperti seorang ibu menyambut kepulangan anaknya.” (Hal. 471).
“Saidjah melihat seekor kupu-kupu yang tampak menikmati hari yang semakin hangat..” (Hal. 474).
“Menanti kekasih hatiku; Lama sudah kupu-kupu mencium Bunga kenari yang sangat dicintainya; Tapi masih juga jiwaku Dan hatiku sangat berduka…Adinda!” (Hal. 474).
“Ketika melihat bintang jatuh, dia mengganggapnya sebagai ucapan selamat datang kembali ke Badur.” (Hal. 468).
“Lihat betapa matahari berkilau tinggi, Tinggi di atas bukit waringin! Dia kepanasan dan ingin turun, untuk tidur di lautan seperti di lengan kekasih.” (Hal. 475).
Hal tersebut merupakan unsur-unsur paling dominan yang bisa dilihat dalam teks yang dihadirkan Multatuli. Meminjam alam sebagai daya ungkap dalam cerita adalah untuk menunjukan nuansa sensual yang bisa ditimbulkan dari cerita. Sebagai fragmen yang romantis, penggunaan unsur-unsur alam tersebut menguatkan anggapan bahwa karakterik umum yang dilakukan kaum Romantisme adalah dengan memasukkan unsur-
unsur alam dalam tulisannya.
Unsur alam tersebut digunakan tidak saja untuk mewakili satu perasaan, namun juga beragam perasaan. Perasaan hangat serta senang bisa sesekali direpresentasikan oleh datang kupu-kupunya mendekat pada bunga saat matahari baru saja tiba. Namun, perasaan sedih dan cemburu juga tak jarang terlintas di pikirannya karena melihat kupu-kupu yang telah mencumbu bunga, sedangkan dia masih menunggu Adinda.
Tidak berhenti di sana, melihat romantisme dalam kisah Saidjah-Adinda kita juga akan diperlihatkan daya ungkap Multatuli dengan menggunakan warna yang dia kawinkan dengan penggambaran alam. Hal tersebut bisa dilihat dari kutipan berikut:
“Kali ini mereka tidak menghilang, tetapi menangkap tanah gelap dan menyampaikan cahayanya dalam lingkaran-lingkaran yang semakin besar dan semakin besar, bertemu, bersilangan, menyebar, berputar, berkelana, dan bersatu dalam petak-petak api dan kilat-kilat cahaya keemasan di tanah biru-keunguan… ada warna merah, biru, perak, ungu, kuning, dan emas dalam semuanya ini.. Oh Tuhan! Itulah fajar, itulah pertemuan kembali dengan Adinda!” (Hal. 471).
Warna merepresentasikan perasaan, personalitas, dan emosi. Warna merah bisa saja dimaknai sebagai marah, jingga berarti enerjik, biru berarti sedih, dan segenap warna lain yang dihubungkan dengan makna-makna tertentu. Warna merupakan penanda verbal yang mendorong orang untuk cenderung memperhatikan rona-rona yang disandikan penanda tersebut. Di mana saja, warna-warna digunakan untuk tujuan konotatif dan pada kenyataannya makna inderawi dan emosional yang dilekatkan pada warna merupakan asal istilah dari warna itu sendiri.
Penggunaan istilah warna secara konotatif mengacu kepada berbagai konsep misalnya warna hitam bagi sekelompok masyarakat dikonotasikan dengan hal-hal yang buruk seperti kematian, kegelapan, dan kejahatan, namun bagi kelompok masyarakat lain, warna hitam dikonotasikan dengan hal-hal yang baik seperti kesederhanaan, rendah hati, kesetaraan. Dengan demikian, warna sejatinya bukanlah sekedar fenomena yang melibatkan persepsi visual semata, namun lebih jauh lagi warna memainkan fungsi yang sangat penting dalam wilayah simbolisme yang beragam dalam masyarakat.
Sebagai bagian dari karakteristik bentuk romantisme, Multatuli menggabungkan satu bagian karakteristik bentuk romantisme ‘kembali ke alam’ ini dengan menggabungkannya dengan berbagai warna. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan ketika Saidjah menunggu Adinda. Dalam kutipan tersebut, kita melihat Saidjah menunggu sesuatu yang indah, dimana sesuatu yang indah tersebut adalah Adinda sendiri. Ini bercampur carut marut dengan segala bentuk perasaannya. Multatuli menggunakan warna untuk mengungkapkan perasaan yang berkecamuk pada karakternya. Harapan, senang, sedih dan segenap perasaan lainnya direpresentasikan dengan warna yang bercampur. Nyala dan keindahan dari warna-warna tersebut akan tercipta hanya jika Saidjah bertemu dengan apa yang dia harapkan, Adinda.
Individual: dalam makna sederhana individualisme cenderung mengarah pada makna kesendirian. Karya sastra pada aliran romantisme tidak hanya menghilangkan esensi dirinya yang menyepi untuk mampu menciptakan karya sastra. Lebih dari itu, individualisme yang dimaksud adalah pengalaman untuk terciptanya emosional tersendiri dalam karya sastra. Dalam kamus istilah sastra, eksotisme adalah keasingan, keunikan.
Dalam fragmen Saidjah-Adinda sikap-sikap kesendirian dan mengasingkan diri terlihat ketika Saidjah pulang dari tempatnya bekerja dan menunggu Adinda di dekat pohon ketapang. Penantian yang tidak jelas membuat Saidjah mesti sesekali bertahan, serta menduga-duga apa yang menyebabkan Adinda tidak datang menemuinya sehari sebelumnya. Hingga pagi menjelang, tepat di hari semestinya Adinda datang, dia belum
juga datang. Selama penantian inilah, Multatuli mengeksplorasi kesendirian karakter Saidjah dengan menjadikannya pelamun yang ulung.
Multatuli cenderung memberangkatkan lamunan dengan cara menghadirkan visual terlebih dahulu. Semisal gerap kupu-kupu yang hinggap pada bunga atau secercah sinar dari sang surya yang seolah-olah menyambutnya. Namun, meskipun begitu, untuk melihat bagaimana bentuk romantisme dalam fragmen ini, Multatuli juga menulisnya tidak hanya dari citraan pengelihatan melainkan juga citraan perabaan dan citraan gerak.
Citraan penglihatan adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, objek yang dapat dilihat secara visual (Nurgiyantoro, 2014:279). Sedangkan citraan perabaan adalah citraan yang ditimbulkan melalui proses perabaaan (Al-Ma’ruf, 2012:83). Penggunaan citraan perabaan tersebut bisa dilihat pada kutipan berikut ini:
“Dia menangkap udara di sekeliling, seakan hendak memeluk sosok yang akan menemuinya di bawah pohon itu.” (Hal.466).
Lamunan akan kedatangan Adinda tidak hanya terbayang pada visual karakter Saidjah, namun juga pada sensorinya. Multatuli meminjam udara sebagai bentuk nyata sosok Adinda yang diidam-idamkan Saidjah yang mudah untuk ditemui. Meskipun pada kenyataannya, apa yang diharapakan Saidjah tidak semudah ‘memeluk udara’ yang dia pikirkan. Hal ini bisa juga dimaknai sebagai upaya Saidjah yang percaya bahwa Adinda ada di sekelilingnya, percaya akan menemuinya, tapi apa yang dipercayainya tak pernah benar nyata ia dapatkan. Melalui citraan, Multatuli mengusik indera pembaca dan menghidupkan gambaran yang ada dalam pikiran. Gambaran tersebut adalah sesuatu yang tengah terjadi dan dibayangkan bentuknya dalam kepala (Maulana, 2012). Sebagai bagian dari ciri romantisme, fragmen Saidjah-Adinda mengandung bentuk individual yang juga dikawinkan dengan citraan yang tidak hanya pengelihatan tetapi juga perabaan.
Keprimitifan: Merupakan hubungan terhadap sesuatu yang alamiah atau natural, dengan kata lain, ia bebas dari batas-batas logis, aturan, serta kesepakatan dalam masyarakat. Dalam kesusastraan kaum primitivis percaya kepada spontanitas, ekspresi emosi secara bebas lepas, dan cara dalam berintuisi.
Bentuk karakteristik romantisme yang berhubungan dengan keprimitifan sangat bisa ditemui ketika akhirnya Saidjah memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Dia tak lagi menunggu Adinda yang telah berhari-hari dia tunggu, yang pada akhirnya tak kunjung datang. Banyak hal yang dipikirkan dan banyak harapan yang ia ucapkan selama menunggu Adinda di bawah pohon ketapang. Namun, hal tersebut tak pernah terjadi. Hal tersebut membuat Saidjah memilih untuk tidak lagi menunggunya, namun menyusul ke rumahnya.
Dalam perjalan dan menemui Adinda, Saidjah tampak berteriak-teriak sehingga beberapa warga ketakutan. Sehingga, warga desa pun berinisiatif mengumpulkan uang untuk kesembuhannya. Sebagai bentuk alamiah warga desa, mereka menghaturkan sesajen ketika sesuatu yang terjadi pada Saidjah erat kaitannya terhadap kepercayaan desa. Melihat latar waktu dalam cerita tersebut dan definisi dari primitif, sepertinya hal tersebut merupakan kejadian lumrah yang terjadi di desa rekaan yang dibuat Multatuli itu.
“Lalu beberapa penduduk Badur mengumpulkan uang untuk memberi sesajen pada buaya-buaya Ciujung demi penyembuhan Saidjah yang mereka anggap gila. Tapi, dia tidak gila.” (Hal. 480).
Tak hanya itu, gambaran terhadap keprimitifan juga bisa dilihat di awal cerita fragmen Saidjah-Adinda, ketika anak-anak di desa Badur berteriak gembira, dan masing-masing memuji kekuatan dan kepatuhan kerbau Saidjah. Kerbau Saidjah bersikap manis karena Saidjah mengetahui cara berbicara dengan hewan itu daripada semua orang lainnya, dan kerbau Saidjah sangat peka terhadap kata-kata manis.
Sentimental: Istilah sentimentalis lebih cenderung kepada pengungkapan emosi yang dilakukann secara berlebihan serta tidak memiliki batas. Dalam karya sastra, emosi itu berupa kelembutan dan kecenderungan terhadap sifat alamiah manusia. Namun, di sisi lain pengungkapan perasaan ini tidak akan bersifat sentimental jika pembaca menganggap adanya sebuah kewajaran, kenormalan, dan keseimbangan.
“Dia sudah melesat ke ujung jalan, melewati desa dan seperti orang gila, berlari kembali dan memukul kepala, karena dia pasti telah melewati rumah Adinda tanpa melihatnya.” (Hal. 477).
“Dia tidak bicara dan melihat ke sekeliling seperti orang kebingungan tanpa melihat apa yang ada di sekitarnya. Akhirnya, dia mulai tertawa mengerikan.” (Hal. 480).
“Dia memegang melati di tangannya yang berulang-ulang ditekankannya ke dada. Dia telah menjadi jauh lebih tua dalam tiga hari terakhir itu, dan tidak lagi mengerti bagaimana dia bisa hidup begitu tentang sebelumnya.” (Hal.458).
“Itulah musik yang menggema di telinga Saidjah dan mencegahnya untuk mendengar semua berita yang disampaikan kepadanya di jalan.” (Hal.467).
Melankolik
Sebagai kata sifat melankolis diartikan sebagai dihinggapi penyakit, ditandai kemurungan jiwa, tertekan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, melankolis adalah kata sifat yang menjelaskan keadaan pembawaan lamban, pendiam, murung, sayu, sedih, muram.
Menurut Florence Littauer dalam bukunya yang berjudul Personality Plus (Florence, 1996: 56-83) mengatakan jika kepribadian melankolis sangat menghargai keindahan serta sangat senang benda indah seperti bunga. Bunga sering dijadikan sebagai simbol, simbol bahagia, simbol kesedihan dan lain-lain, setiap bunga mempunyai makna tersendiri. Bunga mawar melambangkan cinta, kasih, sayang, bahagia. Begitu pun bunga
jenis lain yang dihubungkan dengan makna-makna tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, dalam fragmen Saidjah-Adinda, juga ditemukan bentuk karakteristik utama Romantisme yang berhubungan dengan sesuatu yang melankolik serta berhubungan dengan bunga. Hal ini dapat dilihat pada adegan ketika Saidjah melamun menunggu Adinda di bawah pohon ketapang. Saidjah memegang bunga melati dan sesekali meletakkanya pada dada, seperti kutipan di bawah ini:
“Begitu hari sudah cukup gelap, Ketika tak seorang pun bisa melihatnya, dia mengeluarkan daun pembungkus melati yang diberikan oleh Adinda di bawah pohon Ketapang karena merasa sedih tidak akan melihat gadis itu untuk waktu yang lama.” (Hal.457).
“Dia memegang melati di tangannya yang berulang-ulang ditekankannya ke dada. Dia telah menjadi jauh lebih tua dalam tiga hari terakhir itu, dan tidak lagi mengerti bagaimana dia bisa hidup begitu tentang sebelumnya.” (Hal.458).
Tidak hanya dalam laku, melainkan pula dalam puisi-puisinya, ia sangat dekat dengan bunga khususnya bunga melati. Seperti contoh penggalan puisi berikut:
“Maka malaikat itu akan melihat mayatku,
Dia akan menunjukkanku kepada saudaranya—
‘Lihat, ada orang mati yang terlupakan,
Bibir kakunya mencium bunga melati:
Ayo, kita bawa dia ke surga,” (Hal. 476).
Melankolis tidak suka mencari hal-hal baru dan petualangan dan bahkan cenderung akan sangat menghindarinya. Seseorang dengan kepribadian melankolis tidak mungkin menikah dengan orang asing atau meninggalkan tanah airnya ke negara lain. Pendapat tersebut seakan dikuatkan oleh Saidjah yang memiliki sifat melakolis. Dalam cerita, ia merasa berat untuk meninggalkan Badur, meninggalkan Saidjah untuk merantau. Namun, tidak ada jalan lain selain menjalaninya. Hal tersebut bisa dilihat dari kutipan berikut:
“Ada sesuatu dalam jiwa Saidjah yang membuatnya berjalan lebih lambat—dia merasakan penderitaan pada lututnya, dan walaupun tidak dikuasai oleh keputusasaan,” (Hal.458).
Idealisasi perempuan
Cantik secara umum dapat dimaknai sebagai sesuatu yang indah, bagus, dan memesona. Makna cantik sangat luas. Setiap daerah ataupun negara mempunyai anggapan yang berbeda-beda mengenai makna cantik. Dalam fragmen Saidjah-Adinda, Multatuli mengidealisasikan perempuan cantik yang memiliki mata besar, berkebaya serta kaki mungil. Adapun bagaimana Adinda direpresentasikan sebagai perempuan yang cantik ada pada kutipan di bawah ini:
“Dia membayangkan wajah Adinda, kepalanya, bahunya. Dia melihat konde berat yang begitu hitam dan mengilat, menggantung di leher Adinda. Dia melihat mata besar yang berkilau dalam pantulan hitam; cuping hidung yang diangkat Adinda dengan bangga semasa masih kecil, ketika dia—bagaimana mungkin?—
menjengkelkan gadis itu; dan sudut-sudut bibir Adinda, tempat gadis itu menyimpan senyuman. Dia melihat Adinda yang kian dewasa, cantik berbalut kebaya. Dia melihat betapa pas sarung buatan Adinda sendiri memeluk pinggul, turun mengikuti lekukan paha, lalu jatuh membentuk lipatan-lipatan di atas kaki mungil gadis itu.” (Hal.466).
Adinda digambarkan sebagai perempuan yang cantik, menerima Saidjah apa adanya dan yang menjadi alasan pergi dan pulangnya Saidjah untuk merantau. Romantisme yang digambarkan Multatuli dalam fragmen Saidjah-Adinda tidak hanya terlihat dari bagaimana gundah hati Saidjah ketika meninggalkan desanya atau ketika melamun menunggu kedatangan Adinda, melainkan juga tergambar dari tokoh-tokohnya. Romantisme tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yang hanya berkelindan pada alur cerita namun juga pada karakter-karakternya.
Romantisnya Adinda serta karakter lain yang dibangun oleh Multatuli, tidak hanya digambarkan melalui kata-kata atau percakapan masing-masing tokohnya, melainkan juga perilakunya.
“Baiklah, Saidjah, dengan senang hati aku akan menikah denganmu ketika kau kembali. Aku akan memintal dan menenun sarung serta selendang, dan akan sangat rajin sepanjang waktu.” (Hal. 454)
“Saidjah, kau tahu bahwa aku tidak akan menikahi siapa pun kecuali kau. Ayahku telah berjanji dengan ayah-mu untuk menjodohkan kita.” (Hal. 454).
Apa yang dilakukan Adinda ketika Saidjah berniat pergi merantau tampak begitu romantis. Ia tidak hanya mengucapkan kata-kata yang membuat kita ketika membaca merasa hangat, tapi juga dari perlakuannya. Dengan perasaan menerima dan percaya akan cinta Saidjah, ia pun mengikuti apa yang disampaikan Saidjah untuk membuat takik tiga kali dua belas garis pada lesungnya sebagai cara untuk mengingat kapan ia harus menunggu Saidjah di bawah pohon ketapang.
Multatuli memberikan proporsi romantisme pada karakter-karakternya. Tidak hanya Adinda yang menunjukkan perilaku dan perkataan yang bisa dibaca sebagai romantisme, melainkan juga Saidjah. Hal ini dapat dilihat pada saat sebelum mereka berpisah, Saidjah merobek secarik kain dari ikat kepala birunya yang sudah sangat lusuh dan memberikan potongan kain itu kepada Adinda untuk disimpan sebagai janji, lalu dia meninggalkan Adinda
Jika dilihat dari dekat, dalam fragmen Saidjah-Adinda ini, Multatuli cenderung menghadirkan pelukisan tokoh secara dramatik. Secara dramatik yang berarti pengarang tidak langsung mendeskripsikan sikap, sifat, dan tingkah laku tokoh melainkan memberiarkan karakternya muncul sendiri lewat gambaran ucapan, perbuatan dan komentar atau penilaian tokoh maupun pelaku lain. Watak tokoh disimpulkan pembaca dari pikiran, cakupan dan lakuan tokoh. Bahkan dari penampilan fisik dan gambaran lingkungan maupun tempat tokoh. Cakepan maupun lakuan tokoh dan pikiran tokoh yang dipaparkan oleh pencerita dapat menyiratkan sifat wataknya. Metode ini membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri watak tokohnya (Alternbernd dan Lewis via
Nurgiyantoro, 2013: 279).
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa romantisisme adalah aliran sastra yang mengutamakan perasaan. Fragmen Saidjah-Adinda merupakan sebuah fragmen yang mengandung beberapa bentuk karakteristik romantisme. Adapaun enam bentuk karakteristik romantisme yang bisa ditemukan dalam fragmen Saidjah-Adinda adalah (1) kembali ke alam, (2) individual, (3) primitif, (4) sentimental, (5) melankolik, dan (6) idealisasi perempuan. Dalam bentuk karakterik utama (1) kembali ke alam, juga terdapat unsur warna yang digunakan Multatuli sebagai daya ungkap dalam bercerita.
Fragmen Saidjah-Adinda tidak hanya menggambarkan manisnya hubungan kasih sayang antara mereka, namun juga nilai-nilai perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan dan ikhwal lain yang menyertainya. Mereka menghadapi hidup yang keras dan kejam. Fragmen ini menggambarkan betapa tragisnya nasib mereka; kegetiran, kemiskinan struktural, kenyataan hidup yang pahit dan begitu tidak adil harus mereka hadapi. Namun, kesetiaan dan cinta mereka berdua harum layaknya melati dan nilai-nilai perjuangan mereka layaknya udara—hidup di sekeliling kita, bahkan hingga hari ini.
Abrams, M. H. (1971). The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. Galaxy Books/Oxford University Press, USA.
Ali Imron, A.-M. ’. (2009). Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. CakraBooks.
Damono, S. D. (2005). Membaca romantisisme Indonesia. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Davies, S., Higgins, K. M., Hopkins, R., Stecker, R., & Cooper, D. E. (2009). A Companion to Aesthetics (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Efsa, N. W. (2015). Manifestasi Ideologi Romantik dalam Puisi-Puisi Acep ZamZam Noer. Litera, 14(1). https://doi.org/10.21831/ltr.v14i1.4417
Ferber, M. (2005). A Companion to European Romanticism. Wiley-Blackwell.
Littauer, F. (2021). Personality Plus. Manjul Publishing House Pvt Lt.
Maulana, S. F. (2012). Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Nuansa Cendikia.
Murti, A. W., Koesno, D., & Murti, A. W. (2021, September 2). Tipe Kepribadian Manusia: Sanguinis, Plegmatis, Koleris, Melankolis. tirto.id. https://tirto.id/tipe-kepribadian-manusia-sanguinis-plegmatis-koleris-melankolis-ehcS
Nurgiyantoro, B. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press.
Nurgiyantoro, B. (2014). Stilistika. Gajah Mada University Press.
Stanton, R. (2007). Teori fiksi Robert Stanton. Pustaka Pelajar.
van Den, B. (1990). Romantik Dalam Kesusasteraan Eropa. Seminar Sastra. Romantik; Perkembangan dan Pengaruh Aliran Romantik di Berbagai Negara, Jakarta.